Saya termasuk
orang yang sangat menyukai perjalanan. Tidak harus untuk tujuan travelling atau
rekreasi. Sekedar pergi ke rumah teman, komunitas, mall, gedung pameran, ke
mana saja tempat baru dan rute baru. Saya lebih sering bepergian dengan sepeda
motor daripada angkutan umum, kecuali untuk jarak yang sangat sangat jauh. Tapi
kalau hanya kota antar jabodetabek sampai Karawang, Surabaya-Gresik-Sidoarjo-Lamongan, masih bisa saya tempuh dengan mengendarai motor. Karena suka
dan sering melakukan perjalanan itu, saya jadi seakan mudah paham logika jalan
dan tidak terlalu lama untuk menghafal rute. Kadang saya merasa bahwa nyasar
adalah pengalaman terbaik untuk bisa mengenal jalan baru dan mendapat kepuasaan
bila bisa menyelesaikannya.
Kalau 5 tahun
lalu, HP android belum menjamur seperti sekarang. Pergi kemana-mana saya
biasanya mengandalkan peta fisik atau tanya ke orang dan minta dia
menggambarkan peta jalannya. Tetapi sekarang, saya punya penasehat utama yaitu
google map. Pergi ke manapun, saya minta petunjuknya dan itu menjadi acuan buat
saya. Google map akan selalu ON dalam setiap perjalanan baru saya. Apakah
lantas perjalanan jadi mulus sesuai road map tersebut? Ternyata tidak selalu
mulus, meski peta sudah ada di tangan. Lebih jauh dari itu, saya lantas
menyadari, ternyata dinamika kehidupan ini tak ubahnya seperti saat saya
melakukan perjalanan dalam tiap rute saya.
Saya menulis ini
karena secara spontan muncul dalam pikiran saat menempuh perjalanan beberapa
hari yang lalu. Saya berkendara motor sekitar pukul setengah sebelas malam,
baterai HP saya tidak lagi bisa diandalkan. Hari sudah sangat larut, hujan
ringanpun turun menambah dinginnya malam. Di ibu kota Jakarta pun, tidak semua
jalannya terang benderang oleh lampu, apalagi yang berbatasan dengan kota
penyangga.
Saya hanya
sekali melewati jalan itu dan itupun dibonceng, sehingga saya tidak begitu
memperhatikan rutenya. Tentu saja yang bisa saya andalkan adalah ingatan yang
sedikit serta naluri. Beberapa kali saya ragu ketika melewati pertigaan, saya
harus memilih belok atau lurus? Saya ingin bertanya pada orang, namun jam
segitu tentu jarang orang yang masih beraktivitas. Kalaupun ada, saya juga
perlu waspada jangan sampai saya bertanya pada preman atau begal yang malah
bisa membahayakan keselamatan saya. Beruntung saya bertemu bapak dan ibu yang
masih berdagang hingga malam serta anak muda memperbaiki motor di bengkel
sederhanya. Mereka membantu saya menunjukkan jalan. Namun, memang perjalanan
yang saya tempuh cukup jauh, sehingga saya harus bertanya beberapa kali untuk memastikan
saya tidak salah berbelok.
Itu adalah
pengalaman perjalanan saya yang bisa dibilang lebih mulus, meski cukup panjang
dan di tengah malam. Sudah berkali-kali saya sering nyasar meski menggunakan
peta. Saya pernah juga berputar dua atau tiga kali pada jalan yang sama karena
tidak menemukan jalan keluar yang harusnya membawa saya ke jalan utama. Saya
sudah mencoba bertanya, tetapi malah dibuat bingung oleh orang yang saya tanyai,
sebab di jalan tersebut ada banyak sekali gang-gang kecil. Saya sangat jengkel
rasanya. Biasanya saya alami ketika melewati jalanan di perkampungan. Seperti
hidup, kadang kita mengulang kesalahan yang sama atau mengalami situasi sulit
yang hampir sama beberapa kali. Kita jadi merasa jengkel, marah, hampir habis
kesabaran, tapi bagaimanapun harus menemukan jalan keluar.
Peta adalah
pengarah perjalanan kita, menjadi patokan jalan yang akan kita tempuh. Tetapi
peta juga tidak selalu cukup. Perjalanan yang tidak cukup dengan peta itu sering
saya alami apabila menempuh perjalanan di Jakarta. Saat google map menunjukkan
saya harus lurus, ternyata ada dua atau tiga jalur yang harus saya pilih. Saya
harus lurus ke jalur kiri, kanan atau tengah, jalur atas atau bawah. Saya
pernah memilih jalur yang salah dan membuat saya harus berputar sangat jauh.
Kalau adajalur putar balik, saya lebih mudah untuk kembali ke rute yang benar.
Tetapi kadang saya tidak bisa putar balik dan malah harus mengikuti rute
tersebut, berjalan lebih jauh untuk akhirnya bisa kembali ke rute saya yang benar.
Hidup pun buat
saya seperti itu. Di awal, kita sudah memegang peta yang kita anggap sebagai
patokan dan pengarah. Peta itu bisa berupa perencanaan atau paling tidak
gambaran tentang kehidupan. Apa yang menjadi pengarah bisa berupa prinsip hidup,
pemikiran atau nasehat yang kita pegang. Namun ternyata semua itu belum bisa
selalu diandalkan. Mungkin karena kita kurang dalam menafsirkan atau memahami
petunjuk tersebut atau memang karena ada situasi yang berubah. Hal tersebut
membuat kita jadi berbelok ke jalan yang salah, terjebak dalam rute yang rumit.
Lalu kita harus berhenti sejenak untuk mencari jalan keluar, mengevaluasi rute
perjalanan atau bertanya pada orang lain untuk mendapatkan petunjuk arah yang
benar. Dalam bertanya kepada orang pun, kita harus waspada. Apakah orang itu
benar-benar tahu, memberikan informasi yang tepat. Jangan sampai kita kena tipu
atau malah semakin tersesat. Oleh karena itu, kadang dibutuhkan perbandingan
informasi. Saya biasanya tidak hanya bertanya ke satu orang untuk menguji
validitas arah yang diberikan.
Saya jadi
belajar bahwa hidup kadang harus fleksible, meski tetap ada prinsip dan
pemikiran yang kita pegang. Peta tetaplah harus ada, meski tidak dengan akurasi
tinggi. Namun, ketika dalam perjalanan kita menemui situasi yang tidak sama,
kita terlanjur memilih jalur yang salah, kita harus segera mencari jalan
keluar. Kita mungkin harus putar balik untuk sampai di rute yang benar atau
malah menempuh rute baru yang tetap mengantarkan pada tujuan. Ada kalanya kita
harus berani bertanya kepada orang lain, tetapi tidak begitu saja langsung
mengiyakan. Kita perlu pastikan dan bandingkan.
Yap, itu sekelumit
hikmah dari perjalanan saya di malam itu. Suasana malam yang dingin di jalan
yang sepi, membuat kita bisa merenungi banyak hal. Sepanjang apapun jalan,
sesulit apapun, sesalah apapun jalan yang sedang kita tempuh, jangan pernah
menyerah. Kita tidak akan pernah sampai jika berhenti. Seandainya jalan menjadi
panjangpun tak masalah asal kita sampai, bahkan jika kita tidak bisa sampai
juga ke tujuan..paling tidak kita sudah berjuang dengan segenap daya. Karena di
manapun, dunia ini hanya tempat singgah sementara, ke kampung akheratlah tujuan
akhir kita.
“Bukankah
Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan kami telah menghilangkan dari padamu
bebanmu, yang memberatkan punggungmu. Dan Kami tinggikan bagimu sebutan
(nama)mu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari
sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain), dan
hanya kepada TuhanMulah hendaknya kamu berharap.” (Qs Al Insyirah)