Saya memiliki teman yang saat ini sedang menempuh pendidikan
S2 di salah satu universitas swasta bergengsi. Universitas ini punya alumni
yang sukses menjadi artis, CEO dan pejabat di berbagai perusahaan. Memang
Universitas ini punya sistem pendidikan yang cukup mumpuni untuk mencetak
lulusan yang siap terjun di bidangnya masing-masing. Gedung bagus, fasilitas
lengkap, dosen ahli dan kurikulum yang mencetak keahlian adalah keunggulan dari
universitas ini. Ya memang biaya kuliah di Universitas ini tidak murah bin
mahal. Kebanyakan yang kuliah di sini adalah anak-anak dari keluarga menengah
atas. Tetapi selalu ada kisah yang tak biasa alias tidak ‘umum’ kalau kata
orang Jawa.
Ini kisah nyata teman saya. Teman saya ini hanya anak dari
seorang tukang becak dan ibu rumah tangga yang kerjanya serabutan. Meski bukan
lulusan S1 Universitas ternama, tetapi saat ini ia bisa menjalankan program S2
Universitas berkualitas. Meski bisa dicicil, kisaran biaya kuliah S2 mencapai
puluhan juta. Hebat kan?! Bukan teman saya sih yang hebat, tetapi orang tuanya.
Saya sangat salut kepada Ayah dan Ibu teman saya satu ini. Meskipun mereka
bukan orang yang berpendidikan tinggi dengan pekerjaan yang seperti itu, tetapi
sangat memprioritaskan pendidikan anaknya. Biasanya lahir dari keluarga seperti
itu, jangankan untuk meneruskan ke S2, lulus SMA saja sudah Alhamdulillah.
Nah, masalahnya saya mendengar bahwa ada orang-orang yang saya
tidak tahu berapa jumlah tepatnya itu membicarakan hal ini. Orang-orang ini
kenal dengan teman saya satu ini, tetapi sayangnya mereka tidak kenal dengan
orang tua teman saya. Mereka tidak pernah berkunjung ke rumahnya, berbicara
atau mengetahui keseharian orang tuanya 24 jam apalagi tau masa lalunya. Orang-orang
tadi punya pertanyaan yang sebenarnya cukup filosofis, “Bagaimana bisa anak
tukang becak bisa kuliah S2 di Universitas swasta ini?”. Kalau akhirnya pertanyaan
itu menuntun untuk melakukan observasi mendalam, bertanya bagaimana proses
jatuh bangun orang tua teman saya ini, itu positif. Mereka jadi bisa belajar
sunnatullah untuk bisa merintis hidup dari bawah itu seperti apa.
Masalahnya ternyata tidak seperti itu. Ternyata yang
berkembang adalah prasangka ke arah sinis. “Mana mungkin tukang becak bisa menguliahkan
anaknya S2 di Binus,” begitulah kira-kira. Setelah prasangka itu muncul,
berkembanglah analisa ‘jangan-jangan’. Jangan-jangan ayahnya bukan tukang becak
sungguhan, itu hanya kedok. Jangan-jangan pekerjaannya A, B, C, dst, uangnya
didapat dari X, Y, Z, dst. Saya juga jadi berpikir, “Jangan-jangan mereka
mengira Ayah teman saya ini agen CIA yang menyamar jadi tukang becak. Atau mereka
pikir Ayah teman saya ini alien yang datang ke bumi untuk misi tertentu.” Pikiran saya
konyol juga ya (hehe), kebanyakan nonton film action. Tetapi memang ada lho
orang-orang yang menganalisa ‘otak atik gathuk’, tanpa lebih dulu tabayyun.
Parahnya, ini tidak hanya jadi pikiran pribadi, tetapi disebarluaskan. Pantas
saja, teman-teman dari teman saya ini menjadi parno. Banyak temannya yang
akhirnya menjauh karena hembusan ‘jangan-jangan ini’.
Saya mengenal teman saya ini sejak lama, mendengar kisah
masa kecilnya, tinggal bersama dia beberapa waktu, sering bertemu dengan orang
tuanya bahkan sempat beberapa kali menginap di rumahnya. Saya bahkan kenal
dengan kerabatnya yang lain. Dari semua yang saya temui dan dengar, tidak ada
yang kontradiksi. Perjuangan hidup orang tua teman saya ini sungguh luar biasa.
Ayah teman saya ini memang tukang becak biasa di pasar.
Becaknya sering digunakan untuk mengangkat sayuran dalam jumlah besar. Bahkan
karena banyaknya, beliau kadang tidak bisa melihat jalan di depan karena
tertutup sayuran dan harus mengayuh beban yang overload itu. Bapaknya jarang tinggal
lama di rumah. Sehari-hari beliau ke pasar dan setelah dari pasar istirahat
sebentar lalu pergi narik becak lagi, begitu setiap harinya. Sedangkan ibunya
membantu mencari nafkah dengan berjualan. Berjualan es, jajan, kacang, kerupuk
apa saja yang memungkinkan. Teman saya sendiri belajar berjualan dari orang
tuanya yang memang sejak ia kecil juga sudah disuruh ibunya membantu kulakan
dan jualan. Dari uang hasil jerih payah ayah dan ibu tersebut, mereka
kumpulkan. Ada yang ditabung, ada yang diputar untuk ikut arisan, ada pula yang
dipinjamkan (tanpa bunga).
Ibu teman saya ini juga orangnya sangat supel. Beliau ramah
dan baik pada setiap orang, bahkan sering membantu tetangganya yang
membutuhkan. Rumus apabila membantu itu bukannya rejeki berkurang tetapi
bertambah itu memang benar. Dari situ justru rejeki datang dengan lancar.
Setiap hari ada saja yang memberi makanan, bahan pokok dan perlengkapan rumah
tangga. Tetangga dan kerabatnya sering datang karena kebaikan dari ibu teman
saya ini. Ayahnya pun selain dapat upah dari menarik becak, juga biasanya dapat
sayur dan ikan gratis dari pasar. Uang yang ada bisa digunakan untuk keperluan
yang lain. Dan ibu teman saya ini sangat baik manajemen keuangannya. Meskipun
tidak berpendidikan tinggi, tetapi beliau bisa memperhitungan pemasukan dan
pengeluaran dengan baik.
Singkat cerita, meskipun proses kerja keras ini berjalan lebih
dari dua puluh tahun namun sekarang kondisi ekonomi orang tua teman saya ini
berkecukupan. Meski masih saja ayahnya menjadi tukang becak. Namun, tidak
sekeras dulu karena fisiknya yang juga sudah tidak sekuat dulu. Mereka juga
punya kos-kosan yang hasilnya juga bisa diandalkan tiap bulannya. Perjuangan
yang panjang dan keras itulah yang mendorong kedua orang tuanya menyekolahkan
teman saya ini sampai jenjang S2. Mereka ingin agar teman saya ini tidak
merasakan kerasnya hidup mereka dulu. Meskipun, teman saya juga pernah
mengalami saat masih kecil tinggal di kontrakan yang sempit dan selalu banjir
saat musim hujan tiba. Ia harus mengangkat semua barang-barangnya di atas
lemari dan tidur di ranjang dengan lantai yang penuh genangan air. Teman saya
bahkan pernah makan hanya dengan nasi dan garam.
Semua ada prosesnya. Apa yang kita lihat saat ini adalah
hasil kerja keras, sakit dan menderita selama dua puluh tahun lebih. Tetapi
yang tidak tahu hanya melihat yang sekarang, proses itu tidak diketahui. Saya
pikir, kisah seperti ini tidak hanya ada di keluarga teman saya ini. Mendengar
cerita teman saya yang dicurigai macam-macam itu, saya lantas istighfar.
Manusia ya manusia, seberapapun pandainya ia hanya manusia biasa. Manusia bisa berpikir
tetapi inderanya terbatas dalam menangkap realitas. Analisanya bisa bekerja,
tetapi hatinya yang penuh prasangka buruk tidak akan menemukan kebenaran.
Sesungguhnya, siapakah kita para manusia? Kita bilang Allah Maha Adil, tetapi
tidak percaya bahwa Allah membuat sunnatullah yang sangat adil bagi hambaNya
tanpa pilih kasih. Kita bilang Allah
Maha Tau, tetapi kita malah yang merasa serba tau.
Kita manusia biasa ini mungkin tidak bisa menalar, bagaimana
orang tua tukang becak dan ibu yang bekerja serabutan menguliahkan S2 anaknya
di Universitas swasta berkualitas dan mahal. Bukankah ini menunjukkan bahwa
Allah Maha Adil? Rizki Allah akan diberikan pada mereka yang berjuang
sungguh-sungguh. Semoga kita bisa belajar untuk lebih jeli melihat suatu
persoalan. Jangan sampai kita menjadi manusia yang salah dalam menilai orang
lain. Jangan hanya karena tidak tahu dan tidak tabayyun jadinya menduga-duga
dan menganalisa serampangan. Ingat-ingat, kelak yang kita sebar-sebarkan itu akan ditanya malaikat lho. Mari menjadi bijaksana.
Eh sebut merek.
ReplyDeleteIya sih kadang kita (eh saya) mudah menilai orang. Salut buat temannya, mbak!