foto: http://atoenx.blogspot.co.id
Saya merasa
gelisah beberapa waktu ini. Tantangan umat islam hari ini bukan saja dihadapkan
pada pengaruh eksternal yang menguji iman. Tidak hanya sekedar tentang bagaimana
saat umat Islam puasa, ada non muslim yang tidak puasa. Tentang bagaimana jika kita
punya tetangga non muslim yang sedang merayakan hari besarnya. Tentang bagaimana
skema kerjasama yang harus dibangun oleh muslim dengan non muslim agar tidak
membawa pada perselisihan tetapi juga tetap menjaga akidah. Bukan cuma itu. Tantangan
hari ini justru saya rasakan semakin besar ada pada sesama muslim sendiri.
“Sesama muslim
bersaudara”, agaknya mulai jadi jargon semata. Ada hadits yang menyebutkan: “Seorang
mukmin bagi mukmin yang lain ibarat satu bangunan yang saling menguatkan antara
satu dengan yang lainnya. Kemudian Rasulullah menggenggam jari-jemarinya.”
(Bukhari & Muslim). Di dalam surat Al Hujurat
ayat 10 juga disebutkan, “Orang-orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Bukankah dari
sini ditunjukkan ada ikatan yang sangat dekat antara saudara muslim, meski
tidak punya ikatan darah, tidak terikat geografis. Saya belum pernah naik haji
ataupun umrah, tetapi sungguh bergetar hati dan penuh haru saat melihat begitu
banyak umat muslim dalam masjidil haram berjalan mengelilingi ka’bah, berputar
pada orbit yang sama. Mereka sholat dan sujud pada Allah yang ahad, menghadap
satu kiblat. Siapa mereka dan dari mana tak lagi bisa dibedakan. Tak ada
perbedaan apakah pejabat atau rakyat, apakah dari timur atau barat, punya gelar
akademis atau tidak, dan dari organisasi islam apa. Semua berbalut kain
sederhana tanpa perhiasan dunia dengan satu kiblat yang sama.
Sungguh saya
rindu pada Islam ketika Nabi besar Muhammad memimpin umat. Setiap kali membaca
sejarah islam di masa nabi, ada rasa haru dan rindu yang berkecamuk. Mungkin
ada yang berpendapat bahwa kesuksesan beliau menyebarkan islam karena strategi
politik dan diplomasi yang handal. Tetapi menurut saya, kebesaran Nabi Muhammad
jauh melampaui sekedar strategi saja. Nabi Muhammad memiliki keagungan akhlak
yang menyatu dalam seluruh kehidupan beliau. Keagungan itu bahkan membuat musuh
beliau menjadi hormat dan kemudian tunduk. Bukan sekedar karena Nabi mengangkat
pedangnya, tapi kebijaksanaan dan keluhuran budi beliau.
Dalam sebuah
riwayat pernah diceritakan bahwa Rasulullah sangat marah ketika Usamah membunuh
seorang bekas pasukan musuh padahal orang tersebut sudah bersyahadat. Nabi
marah besar mendengar cerita Usamah dan berkata, “Apakah engkau membunuh orang
yang telah mengatakan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah?. Nabi juga berkata, “Apakah kamu sudah membelah hatinya (sehingga kamu
tahu kalau dia berbohong)? (HR. Bukhari dan Muslim). Sebegitu hati-hatinya Nabi
dalam menghakimi dan menghukumi keimanan seseorang. Ada juga riwayat lain
tentang Nabi Muhammad yang memberi makan seorang yahudi buta tiap hari padahal
orang itu selalu menghina Nabi Muhammad. Namun Nabi tidak marah sedikitpun dan
terus memberinya makan.
Saat ini, kita
begitu mudah mendidih bila ada yang berseberangan pandangan, apalagi jika ada
yang mencela kita. Seolah harga diri kita hancur, nama baik kita tercemar
kemudian mengobarkan maklumat perang. Menyalakan permusuhan semudah menyalakan
korek api. Tidak jarang hal itu terjadi pada sesama umat Islam. Ah, siapa kita
sebenarnya, yang tidak pernah bisa melampaui kebesaran Nabi, yang tidak lebih
mulia dari para sahabat Nabi. Namun kadang melampaui batas kemanusiaan dan
berhasrat menjadi Tuhan secara tak sadar. Kita yang baru belajar menafsirkan
perilaku nabi, baru belajar meneladani Nabi menasbihkan diri sebagai manifestasi
terbaik dari pemikiran dan perilaku Nabi Muhammad SAW. Padahal bisa jadi meneladani
satu saja sifatnya saja kita tidak sempurna.
Di era global
ini, kita berada di masa masyarakat berkembang sangat jamak. Islam sendiri
menjadi banyak aliran. Satu aliran memiliki banyak organisasi. Ada organisasi
yang bergerak sama dalam satu
bidang/sektor, ada yang berbeda bidang/sektor. Setiap organisasi
memiliki pemimpin dan jamaah yang berimplikasi pada perbedaan pemikiran, kultur
dan aturan. Di antara mereka ada yang sama di basic tauhid, tapi beda di fiqh.
Perbedaan fiqh itu ada yang sebagian besar berbeda, tetapi ada yang hanya berbeda
di beberapa aspek teknis saja. Ada juga yang berbeda di metode berpolitik dan
kepemimpinan, dsb. Perbedaan itu sering menjelma menjadi permusuhan bahkan
berujung saling tafkir.
Saya jadi
banyak bertanya, sebenarnya yang disebut Rabbul’alamin dan Islam Rahmatan lil’alamin
dalam pandangan mereka yang seperti apa? Saat bicara tentang Tuhan semesta
alam, seakan hanya segolongan yang sempurna menafsirkan ajaran Tuhan. Saat kita
bicara ingin Islam menjadi rahmat semesta alam, agaknya masih perlu pertanyaan
lanjutan, “Islam yang mana yang menjadi rahmat?”. Apakah hanya islam segolongan
orang saja, islam menurut jamaah tertentu saja atau islam yang mana? Islam yang
tauhid, yang berpegang pada Qur’an dan sunnah. Lalu masih ada pertanyaan lagi, Qur’an dan sunnah
dari tafsir siapa? Jadi, Islam yang mana yang rahmat itu?
Bukan berarti akhirnya
semua yang mengaku Islam itu senantiasa benar ajarannya. Tentu ada diantaranya
yang hanya ngaku-ngaku Islam dan keluar batas dari ajaran Islam itu sendiri. Maka
tentu ada standar minimal orang ataupun golongan yang berislam. Dan yang harus selalu
kita ingat, bahwa seberapapun salahnya seseorang ataupun golongan dalam
menerapkan hukum Islamnya, yang merasa dirinya umat Islam sejatipun tidak boleh
dzalim pada yang selainnya. Dzalim itu tentunya yang berlebihan atau melampaui
batas.
Menurut
pendapat saya, berfokus pada bagaimana bijaksana dalam menyikapi perbedaan itu
jauh lebih penting daripada perbedaan itu sendiri. Perbedaan pendapat sejak
jaman nabi dan para sahabat sudah alamiah terjadi. Perbedaan itu kadang sangat
keras dengan perdebatan yang panas antar sahabat. Tapi kita sering lupa
bagaimana perbedaan itu disikapi dan tetap berujung pada persatuan islam. Kita
sering hanya melihat kerasnya perbedaan itu, apalagi setelah peristiwa tahkim.
Kita menjadi terfokus pada perbedaan pandangan dan aliran antara khawarij,
pendukung Ali dan pendukung Mu’awiyah. Di masa selanjutnya, perbedaan itu malah
semakin banyak dan membagi-bagi umat islam dalam ahlul hadits dan ahlul ra’yi,
Qadariyah dan jabariyah, tradisional dan moderat, ritual dan sosial, Jamaah A
dan jamaah B. Semakin hari kita berfokus pada detil tiap perbedaan, bukan pada
apa yang masih sama. Berlomba-lomba dalam kebaikan yang kita terapkan dalam
agama menjadi seperti ajang kompetisi antar perusahaan. Mengunggulkan brandnya
sendiri, mencela produk kompetitornya bahkan mematikan usaha lawannya.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.” (Al Anbiyaa’ 107). Ada sebuah riwayat menceritakan
ketika sebagian sahabat memohon pada beliau agar mendoakan dan mengutuk orang
musyrik dan kafir, Nabi menjawab: “Aku diutus bukanlah sebagai pembawa kutukan,
tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat (bagi semua manusia).” (HR. Muslim). Saya sangat kagum dengan para ulama dan organisasi yang senantiasa
menyerukan persatuan umat islam. Jangankan mengstatusi orang lain kafir,
mengatakan dirinya muslim sejati saja tidak mau. Karena hanya Allah yang paling
tahu apa yang ada di dalam hati.
Saya sungguh
rindu Islam yang satu. Tentu bukan berarti meniadakan perbedaan. Tidak mungkin
kita berharap Islam seperti masa Nabi Muhammad di mana hanya ada satu
organisasi dan pemimpin tunggal. Bagi saya tak ada yang bisa menandingi
kebesaran kepemimpinan Nabi dan penyatuan umat pada masa beliau. Terlebih saat
ini kita hidup di masa yang berbeda, masyarakat dunia telah berkembang
sedemikian rupa. Ada tatanan sistem dan masalah yang tak sama. Namun, Islam
yang satu itu berarti persatuan yang bisa berkompromi dengan perbedaan. Tidak
saling memerangi, tetapi saling berdialog dan mencari solusi. Bukan mencari
siapa yang paling benar, tetapi bagaimana bisa berkolaborasi dan bersinergi dalam
kebaikan sesuai dengan bidangnya. Bukan yang saling mencari kelemahan, tetapi
saling melengkapi dan menguatkan.
Terlalu
utopiskah rindu saya ini?
0 comments:
Post a Comment