Social Icons

Pages

Friday, April 22, 2016

Pelajaran Hidup dalam Perjalananku





Saya termasuk orang yang sangat menyukai perjalanan. Tidak harus untuk tujuan travelling atau rekreasi. Sekedar pergi ke rumah teman, komunitas, mall, gedung pameran, ke mana saja tempat baru dan rute baru. Saya lebih sering bepergian dengan sepeda motor daripada angkutan umum, kecuali untuk jarak yang sangat sangat jauh. Tapi kalau hanya kota antar jabodetabek sampai Karawang, Surabaya-Gresik-Sidoarjo-Lamongan, masih bisa saya tempuh dengan mengendarai motor. Karena suka dan sering melakukan perjalanan itu, saya jadi seakan mudah paham logika jalan dan tidak terlalu lama untuk menghafal rute. Kadang saya merasa bahwa nyasar adalah pengalaman terbaik untuk bisa mengenal jalan baru dan mendapat kepuasaan bila bisa menyelesaikannya.
Kalau 5 tahun lalu, HP android belum menjamur seperti sekarang. Pergi kemana-mana saya biasanya mengandalkan peta fisik atau tanya ke orang dan minta dia menggambarkan peta jalannya. Tetapi sekarang, saya punya penasehat utama yaitu google map. Pergi ke manapun, saya minta petunjuknya dan itu menjadi acuan buat saya. Google map akan selalu ON dalam setiap perjalanan baru saya. Apakah lantas perjalanan jadi mulus sesuai road map tersebut? Ternyata tidak selalu mulus, meski peta sudah ada di tangan. Lebih jauh dari itu, saya lantas menyadari, ternyata dinamika kehidupan ini tak ubahnya seperti saat saya melakukan perjalanan dalam tiap rute saya.  
Saya menulis ini karena secara spontan muncul dalam pikiran saat menempuh perjalanan beberapa hari yang lalu. Saya berkendara motor sekitar pukul setengah sebelas malam, baterai HP saya tidak lagi bisa diandalkan. Hari sudah sangat larut, hujan ringanpun turun menambah dinginnya malam. Di ibu kota Jakarta pun, tidak semua jalannya terang benderang oleh lampu, apalagi yang berbatasan dengan kota penyangga.
Saya hanya sekali melewati jalan itu dan itupun dibonceng, sehingga saya tidak begitu memperhatikan rutenya. Tentu saja yang bisa saya andalkan adalah ingatan yang sedikit serta naluri. Beberapa kali saya ragu ketika melewati pertigaan, saya harus memilih belok atau lurus? Saya ingin bertanya pada orang, namun jam segitu tentu jarang orang yang masih beraktivitas. Kalaupun ada, saya juga perlu waspada jangan sampai saya bertanya pada preman atau begal yang malah bisa membahayakan keselamatan saya. Beruntung saya bertemu bapak dan ibu yang masih berdagang hingga malam serta anak muda memperbaiki motor di bengkel sederhanya. Mereka membantu saya menunjukkan jalan. Namun, memang perjalanan yang saya tempuh cukup jauh, sehingga saya harus bertanya beberapa kali untuk memastikan saya tidak salah berbelok.
Itu adalah pengalaman perjalanan saya yang bisa dibilang lebih mulus, meski cukup panjang dan di tengah malam. Sudah berkali-kali saya sering nyasar meski menggunakan peta. Saya pernah juga berputar dua atau tiga kali pada jalan yang sama karena tidak menemukan jalan keluar yang harusnya membawa saya ke jalan utama. Saya sudah mencoba bertanya, tetapi malah dibuat bingung oleh orang yang saya tanyai, sebab di jalan tersebut ada banyak sekali gang-gang kecil. Saya sangat jengkel rasanya. Biasanya saya alami ketika melewati jalanan di perkampungan. Seperti hidup, kadang kita mengulang kesalahan yang sama atau mengalami situasi sulit yang hampir sama beberapa kali. Kita jadi merasa jengkel, marah, hampir habis kesabaran, tapi bagaimanapun harus menemukan jalan keluar.
Peta adalah pengarah perjalanan kita, menjadi patokan jalan yang akan kita tempuh. Tetapi peta juga tidak selalu cukup. Perjalanan yang tidak cukup dengan peta itu sering saya alami apabila menempuh perjalanan di Jakarta. Saat google map menunjukkan saya harus lurus, ternyata ada dua atau tiga jalur yang harus saya pilih. Saya harus lurus ke jalur kiri, kanan atau tengah, jalur atas atau bawah. Saya pernah memilih jalur yang salah dan membuat saya harus berputar sangat jauh. Kalau adajalur putar balik, saya lebih mudah untuk kembali ke rute yang benar. Tetapi kadang saya tidak bisa putar balik dan malah harus mengikuti rute tersebut, berjalan lebih jauh untuk akhirnya bisa kembali ke rute saya yang benar.
Hidup pun buat saya seperti itu. Di awal, kita sudah memegang peta yang kita anggap sebagai patokan dan pengarah. Peta itu bisa berupa perencanaan atau paling tidak gambaran tentang kehidupan. Apa yang menjadi pengarah bisa berupa prinsip hidup, pemikiran atau nasehat yang kita pegang. Namun ternyata semua itu belum bisa selalu diandalkan. Mungkin karena kita kurang dalam menafsirkan atau memahami petunjuk tersebut atau memang karena ada situasi yang berubah. Hal tersebut membuat kita jadi berbelok ke jalan yang salah, terjebak dalam rute yang rumit. Lalu kita harus berhenti sejenak untuk mencari jalan keluar, mengevaluasi rute perjalanan atau bertanya pada orang lain untuk mendapatkan petunjuk arah yang benar. Dalam bertanya kepada orang pun, kita harus waspada. Apakah orang itu benar-benar tahu, memberikan informasi yang tepat. Jangan sampai kita kena tipu atau malah semakin tersesat. Oleh karena itu, kadang dibutuhkan perbandingan informasi. Saya biasanya tidak hanya bertanya ke satu orang untuk menguji validitas arah yang diberikan.  
Saya jadi belajar bahwa hidup kadang harus fleksible, meski tetap ada prinsip dan pemikiran yang kita pegang. Peta tetaplah harus ada, meski tidak dengan akurasi tinggi. Namun, ketika dalam perjalanan kita menemui situasi yang tidak sama, kita terlanjur memilih jalur yang salah, kita harus segera mencari jalan keluar. Kita mungkin harus putar balik untuk sampai di rute yang benar atau malah menempuh rute baru yang tetap mengantarkan pada tujuan. Ada kalanya kita harus berani bertanya kepada orang lain, tetapi tidak begitu saja langsung mengiyakan. Kita perlu pastikan dan bandingkan.
Yap, itu sekelumit hikmah dari perjalanan saya di malam itu. Suasana malam yang dingin di jalan yang sepi, membuat kita bisa merenungi banyak hal. Sepanjang apapun jalan, sesulit apapun, sesalah apapun jalan yang sedang kita tempuh, jangan pernah menyerah. Kita tidak akan pernah sampai jika berhenti. Seandainya jalan menjadi panjangpun tak masalah asal kita sampai, bahkan jika kita tidak bisa sampai juga ke tujuan..paling tidak kita sudah berjuang dengan segenap daya. Karena di manapun, dunia ini hanya tempat singgah sementara, ke kampung akheratlah tujuan akhir kita.
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu. Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain), dan hanya kepada TuhanMulah hendaknya kamu berharap.” (Qs Al Insyirah)

Wednesday, April 20, 2016

Menapak Jalan Baru



Saat kita mendengar kata baru, mungkin ada rasa bahagia. Bisa mendapatkan sesuatu yang baru tentu sangat menyenangkan. Baju baru, rumah baru, gadget baru, mungkin juga kekasih baru. Tetapi tidak semua yang baru membuat orang merasa bahagia. Ada sesuatu hal baru yang kadang membuat orang menjadi khawatir, takut atau bahkan paranoid. Sesuatu yang baru itu bisa berupa perbedaan situasi atau perubahan kondisi. Tinggal di tempat baru, berada pada dunia yang sepenuhnya baru dengan tatanan nilai dan orang-orang baru akan memunculkan kekhawatiran tersendiri bagi seseorang.
Saya pun pernah mengalaminya. Jika saya bisa memilih, saya mungkin ingin tetap tinggal bersama sahabat dan saudara yang sudah lama saya kenal. Saya akan lebih memilih tinggal di rumah dan bekerja pada lembaga yang bertahun-tahun saya mengabdi di sana. Saya tidak perlu lagi mengulang segala sesuatu dari awal dan berjalan menapaki lagi tangga-tangga dari bawah. Tapi apakah hidup bisa seenak itu? Mungkin saja ada orang-orang yang hidupnya selalu dalam kurva normal, stabil naik bahkan melejit. Mereka merasakan goncangan tetapi tidak terlalu signifikan, hanya turun sedikit lalu kembali ke posisi normal. Tapi tidak semua berada dalam kurva ideal seperti itu, banyak diantaranya yang terjun bebas, terlempar jauh, terhempas mundur, tapi itulah keajaiban hidup.
‘Takdir memang kejam’. Itu adalah lagu di era 90an yang menurut saya sudah nggak jaman. Usia bumi ini sudah sekitar 4,5 Miliar tahun,  sudah sangat tua, sangat renta dan banyak persoalan. Tetapi lihat bagaimana manusia bisa beradaptasi dan terus berinovasi menghadapi berbagai persoalan di bumi ini. Daerah yang luluh lantak karena terjangan tsunami, gunung meletus menghancurka semua tanpa tersisa. Tapi lihat beberapa tahun setelahnya, tanaman mulai tumbuh, manusia kembali datang, rumah dan berbagai fasilitas terbangun. Aktifitas ekonomi, pendidikan, sosial mulai kembali, kehidupan hadir kembali setelah kematian. Manusia tak pernah gentar menghadapi berbagai persoalan tentang krisis energi, global warming, kekurangan pangan dan berbagai persoalan lain yang mengancam. Berbagai teknologi baru terus bermunculan. Sampai sekarang dan entah sampai kapan manusia akan bisa terus survive, kita tidak pernah tahu batasnya.
Itu menunjukkan bahwa manusia memiliki daya survive dan adaptasi luar biasa. Saat menghadapi musibah dan harus berhadapan dengan hal baru, awalnya ia akan sedih dan takut. Ia menerka-nerka apa yang akan ia hadapi atau malah menggambarkan hal-hal buruk akan terjadi. Saat ia berada di ambang pintu masuk hal baru tersebut, ia ragu dan berharap masih bisa menghindarinya. Tetapi ia tidak bisa menghindarinya, ia harus masuk ke sana dan masuklah dia. Saat ia masuk, ia akan mengalami shock, cemas, sedih, tapi ia hanya punya dua pilihan, survive atau menyerah sekarang dan hancur. Manusia yang bisa mengendalikan emosi dan berpikir rasional, ia akan mulai memijakkan kaki di dunianya kini. Ia akan mulai menelaah apa yang ada di hadapannya, berpikir apa yang menjadi peluang dan bergerak memanfaatkan kesempatan yang masih mungkin. Di saat itulah ia mulai menaiki tangga kehidupannya lagi,bisa bertahap, atau malah memiliki energi besar untuk percepatan.
“Hai hamba-hambaKu yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”(QS. Az-Zumar:10)
Itu adalah salah satu ayat yang menenangkan saya di saat saya menghadapi situasi sulit dan mengharuskan saya memulai segala sesuatu dari awal dengan segala hal yang benar-benar baru. Saya pernah merasa khawatir jika tempat saya yang baru tidak bisa membawa saya pada kebaikan dan capaian yang memuaskan seperti sebelumnya. Namun, membaca ayat tersebut saya seakan diingatkan untuk berpikir positif, tetap semangat dan mengumpulkan serpihan kekuatan. Jika kita melakukan hal baik, pasti akan ada balasan baik, meskipun kebaikan itu tidak datang dalam bentuh bingkisan kado yang manis. Situasi sulit yang saya hadapi, bisa jadi adalah kebaikan, di tempat yang baru bisa jadi ada kesempatan yang lebih besar, ada kebaikan yang lebih besar. Bumi Allah sangatlah luas, sekitar 510 juta km2, bukankah itu benar-benar luas? Lalu kalau kita hanya pindah dari satu rumah ke rumah baru yang masih dalam satu kota, atau berpindah dalam satu kota ke kota lain yang masih dalam satu negara. Atau bahkan harus ke luar negeri sekalipun yang masih ada di planet bumi, apakah kita harus larut dalam kesedihan yang panjang dan menganggap semua telah berakhir? Saya kira justru kehidupan baru saja dimulai.
Di kehidupan kita yang lama mungkin sudah terlalu mekanis dan larut dalam kebiasaan. Ada hal-hal yang belum kita eksplorasi, ada kemampuan yang belum kita keluarkan. Bisa jadi ada banyak hal yang kita lewatkan. Di belahan bumi yang lain atau di bidang yang lain mungkin ada masalah yang bisa kita selesaikan dan butuh kontribusi kita. Bagi orang yang beriman, ia tidak bisa begitu saja mengabaikan Kemaha Besaran Allah. Allah adalah Ar Rahman dan Rahiim, jika Ia menempatkan kita pada suatu tempat berarti ada kebaikan di sana. Tergantung apakah kita mampu melihatnya, mengambil hikmah dan peluang atau tidak. Jika kita jadi kufur dan hanya diliputi oleh pikiran negatif, maka lama-lama kita akan menyesatkan diri kita sendiri.
Jadi, jika saat ini Andapun sedang menapaki babak baru dalam kehidupan, Anda perlu sedikit mengarahkan pikiran, menata sudut pandang dan menumbuhkan optimis. Anda bisa dapatkan itu saat Anda menundukkan diri Anda dalam shalat dan menempelkan dahi Anda di tempat sujud. Jadikan Allah sebagai satu-satunya sandaran dan penolong, maka Ia pula yang akan memberikan kekuatan dan bimbingan dengan jalan yang tidak terpikir oleh Anda.
Selamat berjuang dan Selamat datang pada babak baru kehidupan….

Monday, April 18, 2016

Menilai tidak Hanya dari Sekedar Hasil




Saya dulu sering merasa minder saat melihat apa yang saya hasilkan tidak sebesar kawan-kawan saya. Saya melihat ada teman-teman yang bisa menjadi pengusaha sukses, mendapat jabatan tinggi di perusahaan dan organisasinya dengan segudang prestasi dan catatan keberhasilan yang fantastis. Dari hasil usaha tersebut mereka bisa membahagiakan keluarganya, membantu banyak orang dengan harta dan kinerjanya. Mereka tidak saja dikenal dan berbuat untuk orang-orang di sekitarnya, tetapi nasional dan dunia. Orang-orang seperti itu tentu akan mendapat ganjaran yang besar dunia dan akherat. Merekalah orang-orang sukses menurut pandangan saya saat itu. Lalu saya melihat diri saya, “Ah, apalah saya yang hanya biasa-biasa ini”. Kadang saya masih harus setengah mati hanya untuk bisa survive hidup dan belum bisa berbuat banyak untuk masyarakat dan negara.
Saya adalah orang yang sangat menyukai perjalanan. Meski bukan seorang traveller kelas kakap dan hanya memiliki sedikit list kota yang pernah saya kunjungi, namun ke manapun saya berjalan selalu berusaha mengamati sekeliling saya. Setiap saya pergi ke mana saja, saya selalu menjumpai orang-orang yang berjuang keras untuk bisa bertahan hidup. Petani kecil, pedagang kecil dan asongan, seniman jalanan, tukang becak, dan banyak profesi lain sejenisnya yang jauh dari prestasi besar, harta berlimpah dan popularitas. Mereka adalah orang-orang yang tidak dianggap sukses oleh masyarakat pada umumnya bahkan kadang tidak dihargai.
Suatu ketika ada ada teman di Fb yang menshare sebuah foto nenek tua dengan baju kumuh dan sangat kusut memasukkan lembaran uang kecil dan beberapa receh ke kotak amal di sebuah toko. Saya juga pernah menonton acara Kick Andy yang mengangkat kisah  seorang supir bus di Bima yang mendirikan sebuah Madrasah. Orang tua yang menyekolahkan anaknya di sana dibebaskan untuk membayar semampunya, jika tidak mampu ya tidak perlu membayar. Sangat sederhana dan penuh keterbatasan, tetapi sungguh bermakna. Ada juga kisah tentang seorang tukang becak di Surabaya yang hampir setiap malam menutup lubang di jalan demi keselamatan pengguna jalan. Saya sendiri pernah mengunjungi sebuah sekolah non formal gratis di daerah Bantar Gebang yang dibuat untuk anak-anak pemulung. Saat itu saya bertemu dengan pendirinya, Pak Nadam. Sosok sederhana yang rela mendedikasikan hidup untuk pendidikan anak pemulung di area pembuangan sampah Bantar Gebang. Dan masih banyak lagi kisah-kisah serupa, tentang kebaikan dan upaya yang dilakukan oleh orang-orang sangat biasa yang bahkan belum bisa dilakukan oleh orang-orang dengan pendidikan dan pangkat yang tinggi serta harta yang banyak sekalipun.
Saya jadi berpikir alangkah luar biasanya perbuatan orang-orang tadi. Bahkan saya sangat trenyuh mendengar kisah seorang ibu di daerah kampung sumur, Duren sawit Jakarta yang membesarkan 4 orang anaknya. Ibu itu bekerja sangat keras agar anak-anaknya bisa sekolah dan menyempatkan untuk memberikan nilai moral agar anak-anaknya tidak menjadi anak nakal. Meskipun Ia hanya berpendidikan rendah dan berpenghasilan pas-pasan. Bukankah sangat hebat perjuangannya? Apakah perjuangannya tidak kalah hebat dengan orang-orang berilmu, berpendidikan dan berpangkat itu? sedangkan kondisi dan sumberdayanya sangat terbatas sekali.
Saya pun menjadi bertanya kembali, “Seperti apa sejatinya orang-orang yang mulia itu? Apa yang dilihat oleh Allah dalam perjuangan seorang hamba? Apakah proses ataukah hasil?”. Saya pernah membaca sebuah kutipan dari ceramah Cak Nun, “Nilai Perjuangan di mata Allah dan hakikat kebenaran tidak ditentukan oleh berhasil tidaknya suatu perjuangan. Melainkan ditentukan oleh kesetiaan daya juang sampai batas yang seharusnya dilakukan”.
Dari situ saya berusaha memahami, bahwa Allah lebih melihat proses. Manusia harus berproses sesuai dengan dayanya, sampai batas maksimal yang dimilikinya. Tak peduli ia kaya atau miskin, berprestasi atau tidak, berpangkat atau tidak. Sejauh ia melakukan berbagai upaya dengan segala kemampuannya, itulah perjuangan yang dinilai oleh Allah. Ia tak boleh lesu dan menyerah, entah bagaimanapun hasilnya.
Jika belajar dari kisah besar perjuangan para Nabi, Seandainya pahala seseorang ditentukan oleh hasil dari usahanya, maka tentu hanya sedikit saja nabi yang dimuliakan oleh Allah. Satu-satunya Nabi yang sukses secara hasil, saya kira adalah Nabi Muhammad. Nabi Muhammad merupakan nabi yang sukses menyebarkan tauhid dan agama yang diikuti oleh mayoritas penduduk dunia dan bertahan hingga seribu tahun lebih. Coba Kita tengok bagaimana kisah perjuangan nabi Nuh yang menurut riwayat hanya mendapat tiga belas pengikut. Bahkan istri dan anaknya tidak mau mendengarkan dakwahnya. Namun Allah memujinya dalam sebuah ayat, “Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam. Sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ash-Shaffat: 79-81).
Kita juga tahu bagaimana kisah perjuangan nabi Ayub yang penuh dengan ujian. Dalam hidupnya beliau banyak ditimpa musibah. Beliau ditimpa penyakit, kemiskinan, dikucilkan bahkan istrinya juga meninggalkannya. Nabi Ayub mendapatkan ujian keimanan dan kesabaran yang bertubi-tubi selama bertahun-tahun. Dalam kondisi seperti itu perjuangan Nabi Ayub untuk sabar, tetap bersyukur dan beriman pada Allah adalah perjuangan yang luar biasa. Alla pun memujinya dalam sebuah ayat,   "Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaih-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." (QS. Shad: 44)
Masih banyak lagi kisah perjuangan Nabi yang berakhir dengan sedikit umat yang mau mengikuti petunjuknya. Tidak sedikit pula yang berakhir dengan dikhianati dan dibunuh oleh kaumnya. Namun, mereka tetap merupakan Nabi yang dimuliakan dan dijamin surga oleh Allah. Sehingga menurut pemahaman saya kini, setiap orang di dunia ini terlahir dengan kondisinya masing-masing dan tumbuh pada lingkungannya masing-masing. Dari situ setiap orang memiliki kemampuan dan batas masing-masing, amanah maupun ujian tiap manusia juga berbeda-beda. Maka tidak bisa hasilnya sama antara satu sama lain. Seorang yang memiliki ilmu, harta dan akses yang besar, tentu memiliki tanggungjawab besar pula untuk berbuat yang lebih besar terhadap masyarakat. Ujiannya biasanya adalah kesombongan baik kepada sesama manusia maupun kepada Allah. Sedangkan orang dengan ilmu, harta dan akses yang sedikit, bahkan mungkin masalah yang begitu banyak juga memiliki amanah dan ujiannya sendiri. Mempertahankan iman dan rasa syukur di tengah situasi sulit dan masalah hidup yang menghimpit juga adalah perjuangan yang luar biasa. Itulah yang menurut saya, makna Allah melihat manusia dari keimanan dan ketaqwaannya.
Subhanallah..sungguh Allah maha besar dan adil. Tentu hal ini jangan sampai membuat kita justru bermalas-malasan dan merasa menjadi orang yang terbatas sehingga tidak berbuat banyak. Kita harus berhati-hati, jangan-jangan kita belum maksimal dalam mengeluarkan kemampuan kita. Teruslah berjuang hingga batas terakhir daya kita.  

Friday, April 15, 2016

Sungguh Indah Cara Allah Menguji HambaNya

Saya punya keyakinan sejak dulu, bahwa setiap manusia akan mendapatkan ujian besar dalam hidupnya, baik ujian dalam kesenangan maupun penderitaan. Sudah jadi commonsense bahwa harta, tahta, pasangan (wanita/pria) merupakan ujian bagi setiap manusia yang bisa membuatnya hancur apabila terjebak di dalamnya. Bagi orang-orang yang sangat ingin senantiasa berada di jalan lurus dan menjadi hamba Allah yang baik, tentu sangat tidak ingin tergelincir pada jebakan tadi. Namun, manusia harus membuktikan seberapa keimanan dan ketaqwaannya kepada Tuhannya. Melalui ujian itulah, manusia dapat belajar sekaligus membuktikannya. Dan ujian itu tidak sama antara satu orang dengan lainnya.
Saya sebenarnya bukan orang yang terlalu ambisius terhadap segala sesuatu. Masalah demi masalah yang pernah saya hadapai sejak kecil membuat saya lebih tegar. Terkadang malah membuat saya tidak terlalu memiliki ikatan emosional terhadap apapun. Saya lahir dari keluarga yang sangat sederhana, hidup dengan segala keterbatasan merupakan hal yang biasa buat saya. Saya kemudian menjadi orang yang lebih suka dengan kegiatan sosial dan tidak terlalu mengejar materi. Masa depan yang saya gambarkan bukanlah rumah mewah, mobil dan berbagai fasilitas mewah. Saya ingin membantu orang miskin lebih banyak, memberikan pendidikan bagi anak-anak di daerah pelosok, bisa mengajak anak-anak muda melakukan kegiatan positif dan pokoknya berbuat yang bermanfaat. Saya tahan kerja keras dan menderita dalam medan yang sulit. Saya tidak terlalu ingin punya jabatan mentereng di perusahaan atau lembaga manapun. Saya cukup jadi orang biasa yang punya kesempatan membantu orang lain, itu sudah cukup. Bagaimana dengan pasangan? Saya tidak terlalu tergila-gila dengan cinta. Bisa dibilang kalau saya cukup dingin. Saya bahkan berpikir jika pasangan tidak memberikan kebahagiaan atau tidak menunjang saya untuk mencapai cita-cita saya, maka saya tidak keberatan jika harus kehilangan.
Saya lantas sempat bertanya, lalu apa yang kira-kira akan menjadi ujian besar dalam hidup saya? Saat yang saya cintai adalah dunia di mana saya mengabdikan diri untuk membantu orang lain dalam sebuah rumah sederhana. Bersama dengan orang-orang yang saya anggap juga mulia dan saling membantu. Tidak ada yang menandingi cinta saya terhadap dunia saya ini. Saya bisa menghabiskan seluruh pikiran, tenaga, waktu saya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat yang saya pikir adalah sebuah wujud dari ibadah saya juga. Sepertinya saya siap dengan segala ujian hidup ini.
Ah, ternyata betapa sempitnya ilmu saya, tidak pernah ada yang abadi di dunia ini. Tak pernah ada gading yang tak retak. Allah sungguh punya sebuah bingkisan yang tak pernah kita duga.
Entah bagaimana mulanya, tapi kenyataannya semua runtuh dalam waktu yang cukup singkat. Sesuatu yang saya anggap baik pun berubah menjadi menyeramkan. Kearifan dan kebijaksanaan menjadi kemarahan dan tuduhan serampangan. Tak ada kesempatan tersisa bahkan tak sempat mengucap salam perpisahan. Pada akhirnya, saya harus melepas hampir segalanya, bahkan yang menjadi separuh jiwa saya.
Dari sini kemudian saya belajar tentang keikhlasan. Keikhlasan atas segala hal. Semua yang kita miliki bisa hilang sama sekali menjadi seakan NOL. Kita melepas satu per satu, menanggalkan dunia yang melekat di diri kita. Nama baik, teman, sahabat, prestasi, cinta, karir, semua hilang dalam satu letupan. Allah menguji kita, maukah kita melepasnya? Relakah manusia ini menjadi hina dihadapan manusia lain. Menjadi tak berarti di mata manusia lain, tidak lagi dihargai, tidak dipedulikan prestasinya bahkan mungkin dipandang sampah.
Tapi sungguh indahnya Allah dalam membimbing hambaNya untuk benar-benar tegar dan tangguh. Kehilangan segalanyakah manusia dalam posisi seperti itu? bukankah iman adalah segalanya? Tidak cukupkah jika iman yang melekat dalam diri kita.
Kita mungkin bisa belajar dengan membaca Ayat-ayat Al Qur’an tentang ujian, kesabaran atau kisah para Nabi dan tokoh di dunia tentang macam ujian, bagaimana mereka mendapatkan ujian dan melewatinya. Kita bisa menarik hikmah dan pengetahuan dari hal tersebut. Tetapi bagaimana mental kita tertempa, nyali terasah, kekuatan terbangun dan iman teruji tanpa ujian itu sendiri? Tentu saja ujian yang bisa membentuk seseorang menjadi luar biasa dan hamba yang mulia itu bukanlah ujian yang sederhana atau terprediksi sebelumnya. Tak terencana dan tak terduga, di situlah kita kemudian bisa tertempa.
Dalam menghadapi ujian ini kita bisa mengingat ayat Allah, “Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai, maka tegaklah. Dan hanya kepada Tuhanmu, hendaklah engkau berharap (QS Al Insyiraah 5-8).” Hal ini cukup jelas menerangkan bahwa di dalam kesulitan, Allah mengiringi pula dengan kemudahan. Setelah kita telah cukup dalam bersedih, maka segeralah untuk tegak, berpikir  kembali tentang jalan keluar. Dan selalu pasti ada jalan keluar beserta doa yang kita panjatkan.
Setelah saya melewati situasi kritis, saya merasa apa yang terjadi pada saya, ujian saya yang lalui justru merupakan sebuah nikmat. Ketika berada di situasi sulit sebelumnya, saya kemudian banyak melakukan evaluasi dan perenungan. Saya kemudian banyak membaca ayat Al Qur’an yang dulu jarang saya buka, saya berdialektika tentang apa itu iman, Islam, amal shalih dan banyak hal tentang Islam. Saya membaca buku dan mendengar nasehat dari orang-orang yang sebelumnya bahkan saya remehkan. Dari situ saya justru bertemu dengan orang-orang baru yang memberikan banyak kebijaksanaan. Saya bisa memasuki ruang dan tempat yang dulu belum pernah saya datangi, yang dulu hanya dalam angan-angan saya.
Ujian itu memang tidak bisa dihadapi dengan mudah, tetapi saat kita bisa bersabar, ikhlas dan berserah hanya pada Allah, maka Ia lah yang akan menuntun langkah kita. Kita mungkin tidak percaya bahwa musibah adalah nikmat, tetapi coba kita tengok dari sudut pandang lain. Adanya ujian mendekatkan kita kepada Allah, meruntuhkan ego dan kesombongan, menjadi lebih berhati-hati dan menghargai orang lain. Ujian membuat kita sedih, tetapi justru mungkin malah mendekatkan kita kepada keluarga atau orang-orang baik yang sebelumnya kita abaikan. Bahkan bisa jadi membuka kesempatan lebih luas kita untuk berprestasi dan berkarya lebih luas lagi.
Siapapun Anda yang membaca tulisan ini, kita mungkin memiliki cerita yang berbeda. Kita hidup dalam lingkungan dan kondisi berbeda, ujian kita pun tentunya berbeda. Tapi apapun yang Anda alami, kita bisa memiliki semangat yang sama untuk survive. Selamat berjuang, tetap istiqomah, dan Anda akan merasakan terlahir untuk kesekian kali.
Sebagai penutup, saya sangat suka petikan kata-kata Dahlan Iskan dalam sepatu Dahlan ini, “Tuhan menempatkanmu di posisi yang sekarang, bukan karena kebetulan, tetapi karena rencanaNya. Orang yang hebat tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan. Mereka dibentuk melalui kesukaran, tantangan dan bahkan air mata. Mereka yang menabur dalam kebenaran, tidak akan kembali dengan sia-sia.”
 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates