Social Icons

Pages

Friday, May 27, 2016

“Tukang Becak yang Tak Biasa, Jangan-jangan…”



Saya memiliki teman yang saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di salah satu universitas swasta bergengsi. Universitas ini punya alumni yang sukses menjadi artis, CEO dan pejabat di berbagai perusahaan. Memang Universitas ini punya sistem pendidikan yang cukup mumpuni untuk mencetak lulusan yang siap terjun di bidangnya masing-masing. Gedung bagus, fasilitas lengkap, dosen ahli dan kurikulum yang mencetak keahlian adalah keunggulan dari universitas ini. Ya memang biaya kuliah di Universitas ini tidak murah bin mahal. Kebanyakan yang kuliah di sini adalah anak-anak dari keluarga menengah atas. Tetapi selalu ada kisah yang tak biasa alias tidak ‘umum’ kalau kata orang Jawa.

Ini kisah nyata teman saya. Teman saya ini hanya anak dari seorang tukang becak dan ibu rumah tangga yang kerjanya serabutan. Meski bukan lulusan S1 Universitas ternama, tetapi saat ini ia bisa menjalankan program S2 Universitas berkualitas. Meski bisa dicicil, kisaran biaya kuliah S2 mencapai puluhan juta. Hebat kan?! Bukan teman saya sih yang hebat, tetapi orang tuanya. Saya sangat salut kepada Ayah dan Ibu teman saya satu ini. Meskipun mereka bukan orang yang berpendidikan tinggi dengan pekerjaan yang seperti itu, tetapi sangat memprioritaskan pendidikan anaknya. Biasanya lahir dari keluarga seperti itu, jangankan untuk meneruskan ke S2, lulus SMA saja sudah Alhamdulillah. 

Nah, masalahnya saya mendengar bahwa ada orang-orang yang saya tidak tahu berapa jumlah tepatnya itu membicarakan hal ini. Orang-orang ini kenal dengan teman saya satu ini, tetapi sayangnya mereka tidak kenal dengan orang tua teman saya. Mereka tidak pernah berkunjung ke rumahnya, berbicara atau mengetahui keseharian orang tuanya 24 jam apalagi tau masa lalunya. Orang-orang tadi punya pertanyaan yang sebenarnya cukup filosofis, “Bagaimana bisa anak tukang becak bisa kuliah S2 di Universitas swasta ini?”. Kalau akhirnya pertanyaan itu menuntun untuk melakukan observasi mendalam, bertanya bagaimana proses jatuh bangun orang tua teman saya ini, itu positif. Mereka jadi bisa belajar sunnatullah untuk bisa merintis hidup dari bawah itu seperti apa.

Masalahnya ternyata tidak seperti itu. Ternyata yang berkembang adalah prasangka ke arah sinis. “Mana mungkin tukang becak bisa menguliahkan anaknya S2 di Binus,” begitulah kira-kira. Setelah prasangka itu muncul, berkembanglah analisa ‘jangan-jangan’. Jangan-jangan ayahnya bukan tukang becak sungguhan, itu hanya kedok. Jangan-jangan pekerjaannya A, B, C, dst, uangnya didapat dari X, Y, Z, dst. Saya juga jadi berpikir, “Jangan-jangan mereka mengira Ayah teman saya ini agen CIA yang menyamar jadi tukang becak. Atau mereka pikir Ayah teman saya ini alien yang datang ke bumi untuk misi tertentu.” Pikiran saya konyol juga ya (hehe), kebanyakan nonton film action. Tetapi memang ada lho orang-orang yang menganalisa ‘otak atik gathuk’, tanpa lebih dulu tabayyun. Parahnya, ini tidak hanya jadi pikiran pribadi, tetapi disebarluaskan. Pantas saja, teman-teman dari teman saya ini menjadi parno. Banyak temannya yang akhirnya menjauh karena hembusan ‘jangan-jangan ini’.

Saya mengenal teman saya ini sejak lama, mendengar kisah masa kecilnya, tinggal bersama dia beberapa waktu, sering bertemu dengan orang tuanya bahkan sempat beberapa kali menginap di rumahnya. Saya bahkan kenal dengan kerabatnya yang lain. Dari semua yang saya temui dan dengar, tidak ada yang kontradiksi. Perjuangan hidup orang tua teman saya ini sungguh luar biasa. 

Ayah teman saya ini memang tukang becak biasa di pasar. Becaknya sering digunakan untuk mengangkat sayuran dalam jumlah besar. Bahkan karena banyaknya, beliau kadang tidak bisa melihat jalan di depan karena tertutup sayuran dan harus mengayuh beban yang overload itu. Bapaknya jarang tinggal lama di rumah. Sehari-hari beliau ke pasar dan setelah dari pasar istirahat sebentar lalu pergi narik becak lagi, begitu setiap harinya. Sedangkan ibunya membantu mencari nafkah dengan berjualan. Berjualan es, jajan, kacang, kerupuk apa saja yang memungkinkan. Teman saya sendiri belajar berjualan dari orang tuanya yang memang sejak ia kecil juga sudah disuruh ibunya membantu kulakan dan jualan. Dari uang hasil jerih payah ayah dan ibu tersebut, mereka kumpulkan. Ada yang ditabung, ada yang diputar untuk ikut arisan, ada pula yang dipinjamkan (tanpa bunga). 

Ibu teman saya ini juga orangnya sangat supel. Beliau ramah dan baik pada setiap orang, bahkan sering membantu tetangganya yang membutuhkan. Rumus apabila membantu itu bukannya rejeki berkurang tetapi bertambah itu memang benar. Dari situ justru rejeki datang dengan lancar. Setiap hari ada saja yang memberi makanan, bahan pokok dan perlengkapan rumah tangga. Tetangga dan kerabatnya sering datang karena kebaikan dari ibu teman saya ini. Ayahnya pun selain dapat upah dari menarik becak, juga biasanya dapat sayur dan ikan gratis dari pasar. Uang yang ada bisa digunakan untuk keperluan yang lain. Dan ibu teman saya ini sangat baik manajemen keuangannya. Meskipun tidak berpendidikan tinggi, tetapi beliau bisa memperhitungan pemasukan dan pengeluaran dengan baik. 

Singkat cerita, meskipun proses kerja keras ini berjalan lebih dari dua puluh tahun namun sekarang kondisi ekonomi orang tua teman saya ini berkecukupan. Meski masih saja ayahnya menjadi tukang becak. Namun, tidak sekeras dulu karena fisiknya yang juga sudah tidak sekuat dulu. Mereka juga punya kos-kosan yang hasilnya juga bisa diandalkan tiap bulannya. Perjuangan yang panjang dan keras itulah yang mendorong kedua orang tuanya menyekolahkan teman saya ini sampai jenjang S2. Mereka ingin agar teman saya ini tidak merasakan kerasnya hidup mereka dulu. Meskipun, teman saya juga pernah mengalami saat masih kecil tinggal di kontrakan yang sempit dan selalu banjir saat musim hujan tiba. Ia harus mengangkat semua barang-barangnya di atas lemari dan tidur di ranjang dengan lantai yang penuh genangan air. Teman saya bahkan pernah makan hanya dengan nasi dan garam.

Semua ada prosesnya. Apa yang kita lihat saat ini adalah hasil kerja keras, sakit dan menderita selama dua puluh tahun lebih. Tetapi yang tidak tahu hanya melihat yang sekarang, proses itu tidak diketahui. Saya pikir, kisah seperti ini tidak hanya ada di keluarga teman saya ini. Mendengar cerita teman saya yang dicurigai macam-macam itu, saya lantas istighfar. Manusia ya manusia, seberapapun pandainya ia hanya manusia biasa. Manusia bisa berpikir tetapi inderanya terbatas dalam menangkap realitas. Analisanya bisa bekerja, tetapi hatinya yang penuh prasangka buruk tidak akan menemukan kebenaran. Sesungguhnya, siapakah kita para manusia? Kita bilang Allah Maha Adil, tetapi tidak percaya bahwa Allah membuat sunnatullah yang sangat adil bagi hambaNya tanpa pilih kasih.  Kita bilang Allah Maha Tau, tetapi kita malah yang merasa serba tau. 

Kita manusia biasa ini mungkin tidak bisa menalar, bagaimana orang tua tukang becak dan ibu yang bekerja serabutan menguliahkan S2 anaknya di Universitas swasta berkualitas dan mahal. Bukankah ini menunjukkan bahwa Allah Maha Adil? Rizki Allah akan diberikan pada mereka yang berjuang sungguh-sungguh. Semoga kita bisa belajar untuk lebih jeli melihat suatu persoalan. Jangan sampai kita menjadi manusia yang salah dalam menilai orang lain. Jangan hanya karena tidak tahu dan tidak tabayyun jadinya menduga-duga dan menganalisa serampangan. Ingat-ingat, kelak yang kita sebar-sebarkan itu akan ditanya malaikat lho. Mari menjadi bijaksana.

Tuesday, May 24, 2016

Bertahan atau Jadi Mantan?



Pembahasan soal mantan selalu menarik. Kata Kang Emil kalau beliau bikin status soal mantan, yang comment sampai lima ribu. Buat saya sendiri, membahas tentang mantan itu pedas-pedas manis. Kadang jadi bikin ketagihan. Malah ada orang yang nggak pernah bisa move on dan terus menerus berusaha untuk kembali ke mantan. Karena mantan tak pernah bisa terganti. Padahal satu hal yang saya yakini tentang mantan adalah mantan ada untuk menyadarkan kita bahwa tidak ada sesuatu yang bisa kita miliki selamanya, sebesar apapun cinta itu. Hal itu mengajarkan pada kita untuk mencintai secara wajar dan membenci secara wajar. 

Persoalan mantan itu tidak melulu soal mantan kekasih lho. Ada banyak yang bisa kita masukkan dalam deret mantan yang kalau diingat dan dibahas masih sering bikin perasaan campur aduk. Kita bisa memasukkan bos, teman, sahabat, perusahaan, komunitas bahkan jabatan dalam daftar mantan. Sering kan dalam riwayat biografi seseorang tertulis mantan dirut perusahaan X tahun sekian. Siapa kira punya mantan-mantan itu tidak kalah campur aduk dengan mantan kekasih. 

Punya sahabat bertahun-tahun, mulai dari sekolah, kuliah, kerja selalu bareng lalu tiba-tiba karena suatu kejadian terputus tali persahabatan. Bukan lagi sahabat tetapi seperti jadi berantem macam para superhero di Captain America. Punya mantan bos juga nggak kalah menyentuh lagi kisahnya. Pasti teringat saat-saat mengerjakan proyek bersama dan bisa melewati situasi krisis dengan kerjasama tim. Kadang bos dan anak buah itu seperti anak dan orang tua. Lalu karena suatu kejadian, berhentilah kerjasama itu. Tidak lagi saling mendengar bahkan menyalahkan. Entah siapa yang mengawali, akhirnya hengkanglah si anak buah. Seorang bos yang punya mantan karyawan juga tidak kalah kalut juga. Sudah bertahun-tahun percaya sama anak buahnya, pada akhirnya harus terluka. 

Mantan ada karena perpisahan terjadi. Perpisahan terjadi karena letupan sebuah peristiwa, bisa perselisihan, kesepakatan yang telah berakhir atau perbedaan pendapat. Ada perpisahan yang terjadi secara baik-baik, namun ada pula yang dihiasi dengan bersitegang dan berseteru. Secara santun atau tidak, perpisahan akan menyakitkan. 
Jika hubungan yang terjalin sudah sangat emosional, kadang hati tak akan sampai untuk melepas. Kita masih ingin memiliki dan bersama, namun yang tinggal hanyalah kesedihan belaka. Komunikasi sudah tidak lagi berjalan, jarak persepsi sudah sedemikian besar, tidak ada lagi yang bisa dikompromikan. Lalu untuk apa masih bertahan? Seseorang terkadang masih sangat takut melepas karena merasa hidupnya akan hancur ketika ikatan terlepas. Ada juga yang masih menyimpan harapan akan adanya perubahan suatu ketika. 

Jika ada yang mengalami situasi seperti itu, saya tidak akan menyarankan untuk lebih memilih melepas atau mempertahankan. Kedua alternatif itu bebas dipilih dan memiliki konsekwensinya masing-masing. Siapa yang bisa mengukur dan memutuskan adalah yang menjalankannya sendiri. Tidak ada yang salah dengan ingin bertahan atau melepaskan. Apapun yang akan dipilih, baiknya disadari dan siap dengan segala konsekwensi. Jangan sudah memilih lalu galau, nanti mengganti pilihan dan galau lagi, begitu seterusnya. Mental keberanian dan komitmen akan sebuah pilihan kadang lebih penting daripada pilihan itu sendiri. 

Selain itu yang harus diingat, apapun pilihan kita jangan sampai menganggap apa yang kita pertahankan adalah segala-galanya. Apalagi menganggap kita memilih jalan yang paling baik dibandingkan orang lain. Saya percaya tiap orang memiliki alasan yang kita tidak bisa menduga-duganya. Lebih baik kita berusaha selalu ingat bahwa apa yang kita miliki di dunia ini tidaklah abadi. Cinta kita kepada Allah haruslah lebih besar dari cinta pada selainnya bahkan pada diri kita sendiri. Kita hanya patut takut kehilangan iman dan pertolongan Allah. Kita mengakui Allah Maha Penolong tapi jika kita terlalu takut saat terjatuh tidak akan tertolong, tentu kita perlu evaluasi. Apakah benar kita menjadikan Allah sebagai satu-satunya penolong atau tidak?

Oleh karena itu, kita harus mencintai dan membenci sesuatu secara wajar. Manusia bisa berubah dan mati, pemikiran bisa berubah dan salah, jabatan bisa hilang dan berganti, persahabatan bisa lemah dan putus, musuh bisa berbalik menjadi sahabat. Namun, yang putus bukan berarti tak bisa tersambung lagi, yang salah bukan berarti tak bisa berbenah, yang hilang bukan berarti tak bisa kembali. Menjadi manusia yang tidak berlebihan memandang sesuatu akan lebih terbuka dan fleksibel menghadapi segala dinamika. Ia percaya bahwa dunia ini kadang hanya senda gurau belaka dan hanya Allah lah tempat ia bergantung.

Monday, May 23, 2016

Asyiknya Mengelola Komunitas



Oleh-oleh dari Kelas Akber Bekasi, Minggu 23 Mei 2016

(foto diambil dari instagram akberbekasi)
Hari minggu kemarin, pengalaman pertama saya mengikuti kelas di Akademi Berbagi. Ternyata sangat asyik, karena mentornya adalah orang yang ahli di bidangnya, jadi sangat menguasai apa yang disampaikan. Belajar langsung dari praktisi itu memang sangat mengena. Apalagi kalau belajarnya di tempat yang nyaman dan santai. Dengan konsep semua adalah guru dan semua adalah murid, kita bisa belajar tanpa batasan latar belakang dan hal-hal tertentu saja. Kalau Hadist Nabi mengatakan, “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri cina”, saya sepertinya belajar di akademi berbagi saja karena ilmunya juga mencakup banyak hal. Sebenarnya karena kalau ke Cina butuh biaya yang mahal sih, hehe.

Topik yang kemarin diulas di Akber Bekasi adalah tentang Community Management 101. Pembicaranya adalah Mbak Ainun Chomsun, founder Akademi Berbagi. Mbak kece satu ini sudah malang melintang di dunia komunitas dan profesional di bidang manajemen komunitas. Jadi, benar-benar belajar dari ahlinya.
Saya kasih review sedikit tentang apa yang saya dapat dalam kelas tersebut. Salah satunya adalah bahwa memanajemen komunitas itu hakekatnya adalah mengurusi manusia. Jadi kita harus bisa memperlakukan manusia selayaknya manusia atau memanusiakan manusia. Mau nggak mau, kita harus benar-benar memahami seperti apa karakteristik dan kebutuhan manusia itu. Meski kita juga manusia, tapi kadang masih nggak empati lho sama manusia. Manusia itu memang makhluk yang unik bin misterius. Manusia itu, tiap kepala isinya bisa beda, kebiasaan dan kesenangan mereka bisa beda. Tiap manusia bisa mengambil keputusan-keputusan yang tidak terduga. Benar atau benar? 

Kita yang bekerja mempromosikan brand menggunakan strategi komunitas atau menyebarkan pemikiran melalui pembentukan komunitas, harus memahami tentang komunitas. Komunitas adalah manusia-manusia yang memiliki kesamaan, entah visi, hobi, profesi yang itu membuat nyaman. Sehingga mereka mau untuk membentuk suatu ikatan. Jadi, kalau ingin masuk dalam komunitas atau ingin membentuk suatu komunitas, menemukan kesamaan adalah hal yang paling penting.

Cara paling penting dalam mengelola komunitas adalah mendengar dan terlibat. Ini adalah hal dasar tetapi justru seringkali dilupakan. Sering juga diremehkan padahal sulit lho melakukannya. Kita diberi telingan sampai dua itu kan menandakan bahwa nggak cukup satu telinga untuk bisa mendengar. Hal ini berbeda dengan berbicara. Bicara lebih gampang, makanya kita diberi mulut satu. Kenyataannya memang tidak banyak orang yang bisa mendengar dengan baik. Kita cenderung melihat sesuatu berdasarkan persepsi, pengalaman atau pengetahuan kita sendiri. Bahkan kadang kita memaksakan agar orang harus menuruti kemauan kita. Padahal orang lain juga punya pendapat, pemikiran, keinginan, dsb. Bagaimana mereka mau mengikuti kita, kalau mereka tidak didengar dan tidak dihargai?

Hasil dari apa yang kita dengar ini bukan tidak punya peranan. Jika kita bisa mendengar dengan baik, kita bisa mendapatkan suatu pemahaman tentang bagaimana persepsi, pemikiran, kebutuhan, kebiasaan orang-orang yang jadi sasaran kita. alhasil, kita bisa merumuskan strategi. Menurut saya, nggak usah bicara tentang pemasaran atau strategi manajemen yang ‘muluk-muluk’ kalau kita belum bisa mendengar dengan baik. 

Hal penting lainnya adalah terlibat. Kalau ingin mendaptkan feed back yang baik, ya harus berbaur. Jangan cuma merintah saja, tapi bisa menyentuh kebutuhan dan terlibat dalam kegiatan mereka. Kalau kita sebagai community manager sebuah brand yang masuk ke komunitas, maka jangan cuma minta kepentingan kita dilayani oleh mereka. Kita harus punya posisi setara, take and give juga jangan dilewatkan. Jangan hanya menggunakan bahasa uang. Uang itu hanya mengikat kepentingan semata, tetapi komunikasi dan perlakuan yang baik dapat membangun loyalitas. 

Jika kita sebagai leader dalam suatu komunitas, juga jangan cuma memerintah anggota saja. Hanya karena kita yang mimpin, kita jadi egois untuk membuat semua harus tunduk pada keinginan kita. Ingat bahwa komunitas itu dibangun bukan dari satu orang saja. Meskipun ada orang-orang tertentu yang paling berjasa, tetapi komunitas dibangun oleh banyak orang. Nafas organisasi dipompa oleh banyak orang yang terlibat di dalamnya. Kalau kata Mbak Ainun, di dalam komunitas ada leader, manajer, teknisi dan tim hore. Meskipun cuma ada yang jadi supporter atau bagian rame-rame saja, itu tetap dibutuhkan keberadaannya. Orang-orang seperti itu yang justru melakukan publikasi dan meramaikan komunitas. 

Untuk itu dalam sebuah komunitas harus ada 3R, Reward Ritual Role. Reward itu nggak melulu soal materi. Menghargai orang lain itu nggak mesti harus dengan uang tetapi dengan apresiasi atas usahanya. Misalnya saja menjadikannya sebagai relawan teladan, memberikan kepercayaan atas tanggungjawab tertentu, membantu akses untuk jaringan, memberikan ilmu secara gratis, dsb. Itu adalah reward yang justru memanusiakan ketimbang hanya sekedar uang. Ritual berarti harus ada sesuatu yang diulang-ulang, menjadi simbol dan dilakukan secara bersama-sama oleh anggota komunitas. Dengan adanya ritual, anggota komunitas memiliki kesamaan, identitas dan kesatuan. 

Sedangkan role adalah kejelasan peran. Seringkali anggota komunitas merasa kebingungan sebenarnya peran mereka di komunitas itu apa dan ke depan akan seperti apa. Jika mereka tidak memahami perannya atau merasa tidak punya peran di komunitas tersebut, jangan kecewa kalau pada akhirnya mereka mundur bertahap dari komunitas. Ketidak jelasan peran juga akan membuat anggota komunitas melakukan sesuatu yang kontraproduktif bagi komunitas. Seringkali leader komunitas marah karena melihat adanya anggota komunitas yang bergerak di luar wewenangnya. Orang-orang seperti ini dianggap bersalah dan bergerak di luar aturan. Bisa jadi memang benar, tetapi leader juga perlu evaluasi ke dalam. Apakah transfer pemahaman akan peranan setiap elemen sudah benar-benar dilakukan ataukah belum. Perlu ada evaluasi, apakah leader sudah mengarahkan anggota komunitasnya memahami rolenya masing-masing atau belum.

Hal tersebut perlu dilakukan agar para pengurus komunitas tidak mudah kebakaran jenggot dan salah tuding. Ingginnya menyolidkan komunitas, eh malah anggota komunitas jadi kocar kacir. Dengan tantangan dan dinamiknya, bagaimanapun mengelola komunitas itu asyik. Selalu butuh kejelian, kesabaran dan keuletan. Selamat otak-atik strategi!  

Ketika Membantu adalah Kebutuhan



Kalau ada peristiwa di mana seseorang membantu orang lain, maka tentu lazimnya yang berterimakasih adalah orang yang telah dibantu. Dengan adanya seseorang yang membantu, orang yang kesulitan bisa mendapatkan solusi atau terlepas dari masalahnya. Bagi kita yang membantu kebermaknaannya adalah bisa berbagi dan meringankan beban orang lain. Di sini kadang terlihat seakan yang beruntung dan perlu berterima kasih hanyalah orang yang perlu dibantu. Apa jadinya orang yang membutuhkan tanpa ada orang lain yang membantu? Begitulah kira-kira.

Tapi coba kita berandai-andai dari sudut yang lain, “Bagaimana jika kita tidak punya kesempatan untuk membantu orang lain?”. Seandainya sepanjang waktu kita hanya sibuk dengan pekerjaan dan urusan pribadi. Kita tidak pernah dipertemukan dengan orang-orang yang membutuhkan bantuan. Dari muda hingga tua lalu tahu-tahu waktu kita di dunia tinggal sebentar. Akan membawa bekal apa kita ketika masa hidup di dunia habis? Padahal harta, jabatan, nama baik dan segala yang ada di dunia tidak akan bisa kita bawa mati.
Saya pernah menonton kick Andy edisi 23 januari 2015. Saat itu Bang Andy (panggilan akrab Andy F. Noya) bercerita pernah suatu hari meminta bantuan pada Pak irwan hidayat membantu biaya berobat seseorang yang terkena tumor di kepala. Pak Irwan pun akhirnya mengiyakan. Setelah itu Bang Andy menyampaikan terimakasih atas kesediaan tersebut. Namun pak Irwan justru menjawab, “Aku yang harus berterimakasih, karena kamu memberi kesempatan aku untuk berbuat baik dalam hidupku.” 

Sabtu lalu, saya duduk di tribun penonton studio metro TV menyaksikan langsung tapping Kick Andy untuk tayang di bulan Ramadhan. Ada salah satu ungkapan dari narasumber yang kurang lebih sama. Narasumber ini bercerita bahwa pernah didatangi oleh seorang nenek yang menangis haru. Nenek ini berterimakasih karena cucunya telah dibantu mendapatkan seperangkat peralatan sekolah dan seragam gratis. Lalu si narasumber ini menyampaikan bahwa seharusnya dia yang berterimakasih karena ada anak yatim yang datang ke rumahnya. Jika tidak, maka bagaimana bisa ia tahu keberadaan anak yatim tersebut bahkan bisa memberikan bantuan.

Saya jadi teringat materi pengajian yang pernah saya ikuti di Masjid Baitul Ikhsan Jakarta di mana Aa Gym sebagai penceramah. Salah satu topik yang beliau bahas adalah tentang makna keikhlasan. Orang yang ikhlas, berbuat kebaikan tanpa ingin diingat atau dipuji orang lain. Ia tidak akan berharap ucapan terimakasih dari orang lain, bahkan dialah yang justru harusnya berterimakasih. Aa Gym menyampaikan bahwa berbuat baik itu sebenarnya bukan karena orang lain yang membutuhkan tetapi kitalah yang justru membutuhkan. Dari orang yang datang meminta pertolongan kepada kitalah, maka pahala itu mengalir dan bahkan jadi jalan rejeki untuk kita. 

Pengalaman saya dari tiga hal di atas membuat saya kemudian kagum, tersadar bahkan juga malu. Saya pernah begitu marah karena apa yang saya berikan tidak dihargai bahkan dicaci maki. Saya merasa pengorbanan saya telah sia-sia dan tidak mendapatkan balasan yang layak. Sekarang, saya berpikir bahwa seharusnya saya bersyukur telah diberi kesempatan untuk berbuat baik bahkan berkorban untuk membantu orang lain. Lebih dari itu, saya bersyukur dengan kejadian tersebut, saya diajari untuk memahami makna ikhlas sesungguhnya dan bersabar. Bukankah Allah telah mencatat apa yang pernah saya lakukan, kenapa saya harus khawatir jika orang lain tidak berterimakasih bahkan mencaci.  Serta menyadarkan saya juga bahwa hubungan antara manusia itu rapuh, Kalau kata Opick, ‘teman sejati hanyalah amal’. 

Persoalan bantuan kita disalahgunakan atau dimanfaatkan, bukankah itu urusan mereka dengan Allah. Kita jalankan saja tugas kita untuk membantu kalau memang kita sanggup membantu. Tentu tetap waspada apakah bantuan kita digunakan semestinya atau tidak. Namun, jangan sampai kewaspadaan itu hanya sekedar rasionalisasi untuk tidak mau membantu atau selalu curiga, ‘Jangan-jangan saya Cuma dimanfaatkan, jangan-jangan bantuan saya untuk yang tidak baik dan jangan-jangan yang lain’. Kalau membantu itu adalah kebutuhan, maka sudah harus dipenuhi. Kalau tidak terpenuhi, akan membuat menderita.

Maka kita patut bersyukur atas setiap kesempatan untuk membantu orang lain. Nah, Mulai sekarang jangan menunggu ucapan terimakasih dari orang yang kita bantu. Kita yang membantu harusnya yang mengawali untuk mengucapkan terimakasih karena punya kesempatan untuk membantu. Karena membantu adalah kebutuhan.
 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates