Social Icons

Pages

Friday, May 27, 2016

“Tukang Becak yang Tak Biasa, Jangan-jangan…”



Saya memiliki teman yang saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di salah satu universitas swasta bergengsi. Universitas ini punya alumni yang sukses menjadi artis, CEO dan pejabat di berbagai perusahaan. Memang Universitas ini punya sistem pendidikan yang cukup mumpuni untuk mencetak lulusan yang siap terjun di bidangnya masing-masing. Gedung bagus, fasilitas lengkap, dosen ahli dan kurikulum yang mencetak keahlian adalah keunggulan dari universitas ini. Ya memang biaya kuliah di Universitas ini tidak murah bin mahal. Kebanyakan yang kuliah di sini adalah anak-anak dari keluarga menengah atas. Tetapi selalu ada kisah yang tak biasa alias tidak ‘umum’ kalau kata orang Jawa.

Ini kisah nyata teman saya. Teman saya ini hanya anak dari seorang tukang becak dan ibu rumah tangga yang kerjanya serabutan. Meski bukan lulusan S1 Universitas ternama, tetapi saat ini ia bisa menjalankan program S2 Universitas berkualitas. Meski bisa dicicil, kisaran biaya kuliah S2 mencapai puluhan juta. Hebat kan?! Bukan teman saya sih yang hebat, tetapi orang tuanya. Saya sangat salut kepada Ayah dan Ibu teman saya satu ini. Meskipun mereka bukan orang yang berpendidikan tinggi dengan pekerjaan yang seperti itu, tetapi sangat memprioritaskan pendidikan anaknya. Biasanya lahir dari keluarga seperti itu, jangankan untuk meneruskan ke S2, lulus SMA saja sudah Alhamdulillah. 

Nah, masalahnya saya mendengar bahwa ada orang-orang yang saya tidak tahu berapa jumlah tepatnya itu membicarakan hal ini. Orang-orang ini kenal dengan teman saya satu ini, tetapi sayangnya mereka tidak kenal dengan orang tua teman saya. Mereka tidak pernah berkunjung ke rumahnya, berbicara atau mengetahui keseharian orang tuanya 24 jam apalagi tau masa lalunya. Orang-orang tadi punya pertanyaan yang sebenarnya cukup filosofis, “Bagaimana bisa anak tukang becak bisa kuliah S2 di Universitas swasta ini?”. Kalau akhirnya pertanyaan itu menuntun untuk melakukan observasi mendalam, bertanya bagaimana proses jatuh bangun orang tua teman saya ini, itu positif. Mereka jadi bisa belajar sunnatullah untuk bisa merintis hidup dari bawah itu seperti apa.

Masalahnya ternyata tidak seperti itu. Ternyata yang berkembang adalah prasangka ke arah sinis. “Mana mungkin tukang becak bisa menguliahkan anaknya S2 di Binus,” begitulah kira-kira. Setelah prasangka itu muncul, berkembanglah analisa ‘jangan-jangan’. Jangan-jangan ayahnya bukan tukang becak sungguhan, itu hanya kedok. Jangan-jangan pekerjaannya A, B, C, dst, uangnya didapat dari X, Y, Z, dst. Saya juga jadi berpikir, “Jangan-jangan mereka mengira Ayah teman saya ini agen CIA yang menyamar jadi tukang becak. Atau mereka pikir Ayah teman saya ini alien yang datang ke bumi untuk misi tertentu.” Pikiran saya konyol juga ya (hehe), kebanyakan nonton film action. Tetapi memang ada lho orang-orang yang menganalisa ‘otak atik gathuk’, tanpa lebih dulu tabayyun. Parahnya, ini tidak hanya jadi pikiran pribadi, tetapi disebarluaskan. Pantas saja, teman-teman dari teman saya ini menjadi parno. Banyak temannya yang akhirnya menjauh karena hembusan ‘jangan-jangan ini’.

Saya mengenal teman saya ini sejak lama, mendengar kisah masa kecilnya, tinggal bersama dia beberapa waktu, sering bertemu dengan orang tuanya bahkan sempat beberapa kali menginap di rumahnya. Saya bahkan kenal dengan kerabatnya yang lain. Dari semua yang saya temui dan dengar, tidak ada yang kontradiksi. Perjuangan hidup orang tua teman saya ini sungguh luar biasa. 

Ayah teman saya ini memang tukang becak biasa di pasar. Becaknya sering digunakan untuk mengangkat sayuran dalam jumlah besar. Bahkan karena banyaknya, beliau kadang tidak bisa melihat jalan di depan karena tertutup sayuran dan harus mengayuh beban yang overload itu. Bapaknya jarang tinggal lama di rumah. Sehari-hari beliau ke pasar dan setelah dari pasar istirahat sebentar lalu pergi narik becak lagi, begitu setiap harinya. Sedangkan ibunya membantu mencari nafkah dengan berjualan. Berjualan es, jajan, kacang, kerupuk apa saja yang memungkinkan. Teman saya sendiri belajar berjualan dari orang tuanya yang memang sejak ia kecil juga sudah disuruh ibunya membantu kulakan dan jualan. Dari uang hasil jerih payah ayah dan ibu tersebut, mereka kumpulkan. Ada yang ditabung, ada yang diputar untuk ikut arisan, ada pula yang dipinjamkan (tanpa bunga). 

Ibu teman saya ini juga orangnya sangat supel. Beliau ramah dan baik pada setiap orang, bahkan sering membantu tetangganya yang membutuhkan. Rumus apabila membantu itu bukannya rejeki berkurang tetapi bertambah itu memang benar. Dari situ justru rejeki datang dengan lancar. Setiap hari ada saja yang memberi makanan, bahan pokok dan perlengkapan rumah tangga. Tetangga dan kerabatnya sering datang karena kebaikan dari ibu teman saya ini. Ayahnya pun selain dapat upah dari menarik becak, juga biasanya dapat sayur dan ikan gratis dari pasar. Uang yang ada bisa digunakan untuk keperluan yang lain. Dan ibu teman saya ini sangat baik manajemen keuangannya. Meskipun tidak berpendidikan tinggi, tetapi beliau bisa memperhitungan pemasukan dan pengeluaran dengan baik. 

Singkat cerita, meskipun proses kerja keras ini berjalan lebih dari dua puluh tahun namun sekarang kondisi ekonomi orang tua teman saya ini berkecukupan. Meski masih saja ayahnya menjadi tukang becak. Namun, tidak sekeras dulu karena fisiknya yang juga sudah tidak sekuat dulu. Mereka juga punya kos-kosan yang hasilnya juga bisa diandalkan tiap bulannya. Perjuangan yang panjang dan keras itulah yang mendorong kedua orang tuanya menyekolahkan teman saya ini sampai jenjang S2. Mereka ingin agar teman saya ini tidak merasakan kerasnya hidup mereka dulu. Meskipun, teman saya juga pernah mengalami saat masih kecil tinggal di kontrakan yang sempit dan selalu banjir saat musim hujan tiba. Ia harus mengangkat semua barang-barangnya di atas lemari dan tidur di ranjang dengan lantai yang penuh genangan air. Teman saya bahkan pernah makan hanya dengan nasi dan garam.

Semua ada prosesnya. Apa yang kita lihat saat ini adalah hasil kerja keras, sakit dan menderita selama dua puluh tahun lebih. Tetapi yang tidak tahu hanya melihat yang sekarang, proses itu tidak diketahui. Saya pikir, kisah seperti ini tidak hanya ada di keluarga teman saya ini. Mendengar cerita teman saya yang dicurigai macam-macam itu, saya lantas istighfar. Manusia ya manusia, seberapapun pandainya ia hanya manusia biasa. Manusia bisa berpikir tetapi inderanya terbatas dalam menangkap realitas. Analisanya bisa bekerja, tetapi hatinya yang penuh prasangka buruk tidak akan menemukan kebenaran. Sesungguhnya, siapakah kita para manusia? Kita bilang Allah Maha Adil, tetapi tidak percaya bahwa Allah membuat sunnatullah yang sangat adil bagi hambaNya tanpa pilih kasih.  Kita bilang Allah Maha Tau, tetapi kita malah yang merasa serba tau. 

Kita manusia biasa ini mungkin tidak bisa menalar, bagaimana orang tua tukang becak dan ibu yang bekerja serabutan menguliahkan S2 anaknya di Universitas swasta berkualitas dan mahal. Bukankah ini menunjukkan bahwa Allah Maha Adil? Rizki Allah akan diberikan pada mereka yang berjuang sungguh-sungguh. Semoga kita bisa belajar untuk lebih jeli melihat suatu persoalan. Jangan sampai kita menjadi manusia yang salah dalam menilai orang lain. Jangan hanya karena tidak tahu dan tidak tabayyun jadinya menduga-duga dan menganalisa serampangan. Ingat-ingat, kelak yang kita sebar-sebarkan itu akan ditanya malaikat lho. Mari menjadi bijaksana.

1 comments:

  1. Eh sebut merek.
    Iya sih kadang kita (eh saya) mudah menilai orang. Salut buat temannya, mbak!

    ReplyDelete

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates