Social Icons

Pages

Thursday, May 5, 2016

Mengarahkan Hidup dengan Visi Sosial



Setiap orang tentu berhak untuk menentukan sendiri visinya. Mau dibawa ke arah mana hidupnya, apa yang hendak ia tuju dan bagaimana caranya menuju, itu adalah hak asasi setiap manusi. Namun buat saya pribadi, manusia secara fitrah bukan hanya makhluk individu tetapi juga sosial. Dalam mengarahkan hidupnya dan bagaimana ia hidup harus juga memasukkan unsur fitrah antara ia sebagai makhluk individu dan juga sosial. Terlebih kita sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat dengan beragam masalah-masalah sosial, tentu kita tidak bisa tinggal diam dengan apa yang terjadi di sekitar kita. Kita yang hidup di bumi bersama milyaran manusia lainnya, kita menggunakan sumber dayanya, memiliki ketergantungan dengan manusia lainnya sudah pasti membutuhkan suatu timbal balik. Kita bahkan membutuhkan keberlangsungan hidup yang tidak hanya untuk kita, tetapi untuk keluarga dan anak cucu kita di tahun-tahun yang akan datang.
Hal di atas merupakan alasan universal kenapa kemudian manusia dituntut untuk tidak egois dan memikirkan bagaimana ia bisa berbuat suatu manfaat bagi masyarakat. Di berbagai ajaran agama pun juga senantiasa menekankan agar umatnya berbuat baik kepada sesama dan membangun kepedulian sosial. Apalagi kita sebagai umat muslim yang sangat jelas tersurat bagaimana Allah memerintahkan hambaNya untuk memiliki orientasi sosial yang tinggi dalam kehidupannya. Seperti yang ada dalam konsep Zakat, Sedekah, menolong anak yatim, menolong fakir miskin, membebaskan perbudakan, berdakwah. Bahkan amalan seperti puasa dan sholat pun tidak saja ibadah dalam hubungan individual manusia dengan Allah, namun juga memiliki orientasi sosial. Maka dari itu, sudah seharusnya sebagai seorang manusia dengan fitrahnya apalagi sebagai umat muslim untuk memiliki visi sosial dalam hidupnya.
Visi sosial sederhananya adalah hidup dengan tujuan membantu orang lain, bermanfaat untuk orang lain sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya. Orang lain itu dapat dimulai dari keluarga, kerabat, teman, warga kampung, kelurahan, kecamatan, kota, negara dan dunia berdasarkan kesanggupannya. Kesanggupan itu tidak bisa diukur, tetapi diusahakan. Apabila seseorang telah mengupayakan secara total, maka di situlah batas kesanggupannya. Hal ini saya simpulkan dari memahami kisah-kisah perjuangan manusia dengan visi sosial. Seperti kisah tukang becak yang mau dibayar seikhlasnya oleh penumpang bahkan pernah menggratiskan. Kisah seorang supir bus yang mendirikan madrasah di kampungnya dan masih ingin dikembangkan hingga besar. Kisah seorang nenek pengumpul sayur liar untuk dijual kembali yang menginfakkan sebagian pendapatannya di kotak amal. Kisah mantan TKW yang pulang dengan gagal tanpa tersisa hartanya tetapi malah kemudian memperjuangkan nasib TKW dan mendirikan sekolah untuk anak-anak TKW. Serta masih banyak lagi di luar sana kisah tentang orang-orang yang dengan segala kesanggupannya berjuang untuk masyarakat.
Kita nilai seperti apakah orang-orang seperti di atas? Orang miskinkah atau orang kaya? Orang tak berdayakah atau orang yang sangat mampu? Bagaimana mereka mengukur dirinya apakah sudah mampu atau belum untuk menjalankan sebuah misi sosial? Menurut saya, modal terbesar mereka adalah ketulusan hati dan besarnya nyali.
Saya meyakini, bahwa secara alamiah manusia hidup di dunia ini tidak semata-mata hidup untuk dirinya sendiri. Saat awal kali lahir saja, ia sudah memberi kebahagiaan bagi orang lain, paling tidak bagi orang tuanya sendiri. Kehadirannya adalah bagian dari akibat upaya kedua orang tuanya dan kehadirannya menjadi sebab pula bagi usaha orang tuanya di hari-hari berikutnya, begitupun sebaliknya. Maka hubungan seorang manusia dengan manusia lain itu sangatlah intim. Ia kemudian bisa melanjutkan hidup juga dengan terikat oleh sistem sosial yang ada, sampai ia meninggal juga tidak dapat terlepas dari orang lain. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu terhubung dan tergantung dengan orang lain lantas tidak memiliki visi untuk berkontribusi pada dunia tempat mereka bergantung?
Kita mungkin kadang terlalu menganggap remeh apa yang bisa kita lakukan dan seberapa jauh memberikan efek pada dunia yang begitu luas ini. Pertanyaan tentang siapa kita, seberapa kemampuan kita, sejauh mana kita bisa memberikan efek besar bagi orang lain, mungkin membuat kita jadi tidak yakin untuk mulai mengambil peran. Membayangkan saja mungkin sudah terlalu rumit dan tidak mungkin. Tetapi lebih baik mari kita berfokus pada usaha kita. Kita abaikan dulu tentang seberapa jauh langkah yang bisa kita tempuh, seberapa besar efek yang akan kita berikan. Mari kita lebih berfokus pada upaya yang paling mungkin kita lakukan dan konsisten untuk melakukannya. Nanti akan terjawab sendiri seberapa batas kemampuan kita. Kalau memang hanya satu keluarga ya itu yang akan jadi amal shalih kita kelak. Namun juga mungkin saja dari satu keluarga itu kemudian menjadi satu RT, satu RW, satu kelurahan, satu kota dan seterusnya. Jangan pernah meragukan kuasa Allah. Apabila Ia menghendaki, maka apapun akan terjadi. Tugas kita adalah berusaha dan istiqomah.
Kita juga jangan hanya melihat dari upaya yang kita lakukan saja. Namun bayangkan jika banyak manusia yang memiliki visi berorientasi sosial lalu bergerak dalam irama yang harmonis membangun jaring-jaring pembangunan sosial. Dari visi sosial tersebut akan lahir orang-orang yang membangun perpustakan, memberikan bimbingan belajar gratis, membangun sekolah untuk anak miskin, mengembangkan bakat seni anak-anak, memberikan pelatihan bagi ibu-ibu kurang mampu, memberikan pinjaman usaha tanpa bunga, dan banyak lagi kegiatan sosial lainnya.  Kita akan lihat ada orang-orang yang bekerja untuk masyarakat di gang-gang sempit, di pelosok desa, di seluruh negeri ini dan bahkan dunia.
Bagi individu sendiri, ia akan terlatih melampaui batas-batas dirinya. Ia akan disibukkan oleh aktifitas-aktifitas yang baik. Fokusnya teralihkan yang biasanya hanya memikirkan dirinya, perasaannya saja kemudian memikirkan orang lain dan berusaha untuk orang lain. Saya pikir ini akan menurunkan angka generasi galau. Mungkin ada baiknya jika mereka galau apabila tidak bisa melakukan hal yang bermanfaat untuk masyarakat serta menjadi alay dalam melakukan aktifitas sosial. Kalau yang demikian, tentu akan menjadi lebih maslahat dan membawa efek yang baik. Sekarangpun geliat pembangunan dengan visi sosial agaknya juga sedang marak. Bermunculan jargon dan model-model bisnis sosial, socialentrepreneurship, social talent, komunitas dan gerakan sosial. Hal ini merupakan iklim yang kondusif untuk mengembangkan visi sosial dan merealisasikannya. Tentu saja dengan harapan ini bukan hanya jargon semata, atau baju. Katanya sosial tetapi ternyata hanya untuk keuntungan sebagian orang semata. Tetapi jangan skeptis dulu, mari kita berprasangka baik saja agar semangat generasi dengan visi sosial ini terus tumbuh. Soal niat dan hasilnya nanti, urusan manusia dengan TuhanNya.

0 comments:

Post a Comment

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates