Setiap orang tentu
berhak untuk menentukan sendiri visinya. Mau dibawa ke arah mana hidupnya, apa
yang hendak ia tuju dan bagaimana caranya menuju, itu adalah hak asasi setiap
manusi. Namun buat saya pribadi, manusia secara fitrah bukan hanya makhluk
individu tetapi juga sosial. Dalam mengarahkan hidupnya dan bagaimana ia hidup
harus juga memasukkan unsur fitrah antara ia sebagai makhluk individu dan juga
sosial. Terlebih kita sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat
dengan beragam masalah-masalah sosial, tentu kita tidak bisa tinggal diam
dengan apa yang terjadi di sekitar kita. Kita yang hidup di bumi bersama
milyaran manusia lainnya, kita menggunakan sumber dayanya, memiliki
ketergantungan dengan manusia lainnya sudah pasti membutuhkan suatu timbal
balik. Kita bahkan membutuhkan keberlangsungan hidup yang tidak hanya untuk
kita, tetapi untuk keluarga dan anak cucu kita di tahun-tahun yang akan datang.
Hal di atas
merupakan alasan universal kenapa kemudian manusia dituntut untuk tidak egois
dan memikirkan bagaimana ia bisa berbuat suatu manfaat bagi masyarakat. Di
berbagai ajaran agama pun juga senantiasa menekankan agar umatnya berbuat baik
kepada sesama dan membangun kepedulian sosial. Apalagi kita sebagai umat muslim
yang sangat jelas tersurat bagaimana Allah memerintahkan hambaNya untuk
memiliki orientasi sosial yang tinggi dalam kehidupannya. Seperti yang ada
dalam konsep Zakat, Sedekah, menolong anak yatim, menolong fakir miskin,
membebaskan perbudakan, berdakwah. Bahkan amalan seperti puasa dan sholat pun
tidak saja ibadah dalam hubungan individual manusia dengan Allah, namun juga
memiliki orientasi sosial. Maka dari itu, sudah seharusnya sebagai seorang
manusia dengan fitrahnya apalagi sebagai umat muslim untuk memiliki visi sosial
dalam hidupnya.
Visi sosial
sederhananya adalah hidup dengan tujuan membantu orang lain, bermanfaat untuk
orang lain sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya. Orang lain itu dapat dimulai
dari keluarga, kerabat, teman, warga kampung, kelurahan, kecamatan, kota,
negara dan dunia berdasarkan kesanggupannya. Kesanggupan itu tidak bisa diukur,
tetapi diusahakan. Apabila seseorang telah mengupayakan secara total, maka di
situlah batas kesanggupannya. Hal ini saya simpulkan dari memahami kisah-kisah
perjuangan manusia dengan visi sosial. Seperti kisah tukang becak yang mau
dibayar seikhlasnya oleh penumpang bahkan pernah menggratiskan. Kisah seorang
supir bus yang mendirikan madrasah di kampungnya dan masih ingin dikembangkan
hingga besar. Kisah seorang nenek pengumpul sayur liar untuk dijual kembali
yang menginfakkan sebagian pendapatannya di kotak amal. Kisah mantan TKW yang
pulang dengan gagal tanpa tersisa hartanya tetapi malah kemudian memperjuangkan
nasib TKW dan mendirikan sekolah untuk anak-anak TKW. Serta masih banyak lagi
di luar sana kisah tentang orang-orang yang dengan segala kesanggupannya
berjuang untuk masyarakat.
Kita nilai
seperti apakah orang-orang seperti di atas? Orang miskinkah atau orang kaya?
Orang tak berdayakah atau orang yang sangat mampu? Bagaimana mereka mengukur
dirinya apakah sudah mampu atau belum untuk menjalankan sebuah misi sosial? Menurut
saya, modal terbesar mereka adalah ketulusan hati dan besarnya nyali.
Saya meyakini,
bahwa secara alamiah manusia hidup di dunia ini tidak semata-mata hidup untuk
dirinya sendiri. Saat awal kali lahir saja, ia sudah memberi kebahagiaan bagi
orang lain, paling tidak bagi orang tuanya sendiri. Kehadirannya adalah bagian
dari akibat upaya kedua orang tuanya dan kehadirannya menjadi sebab pula bagi
usaha orang tuanya di hari-hari berikutnya, begitupun sebaliknya. Maka hubungan
seorang manusia dengan manusia lain itu sangatlah intim. Ia kemudian bisa
melanjutkan hidup juga dengan terikat oleh sistem sosial yang ada, sampai ia
meninggal juga tidak dapat terlepas dari orang lain. Bagaimana mungkin
seseorang yang begitu terhubung dan tergantung dengan orang lain lantas tidak
memiliki visi untuk berkontribusi pada dunia tempat mereka bergantung?
Kita mungkin
kadang terlalu menganggap remeh apa yang bisa kita lakukan dan seberapa jauh
memberikan efek pada dunia yang begitu luas ini. Pertanyaan tentang siapa kita,
seberapa kemampuan kita, sejauh mana kita bisa memberikan efek besar bagi orang
lain, mungkin membuat kita jadi tidak yakin untuk mulai mengambil peran.
Membayangkan saja mungkin sudah terlalu rumit dan tidak mungkin. Tetapi lebih
baik mari kita berfokus pada usaha kita. Kita abaikan dulu tentang seberapa
jauh langkah yang bisa kita tempuh, seberapa besar efek yang akan kita berikan.
Mari kita lebih berfokus pada upaya yang paling mungkin kita lakukan dan
konsisten untuk melakukannya. Nanti akan terjawab sendiri seberapa batas
kemampuan kita. Kalau memang hanya satu keluarga ya itu yang akan jadi amal
shalih kita kelak. Namun juga mungkin saja dari satu keluarga itu kemudian
menjadi satu RT, satu RW, satu kelurahan, satu kota dan seterusnya. Jangan
pernah meragukan kuasa Allah. Apabila Ia menghendaki, maka apapun akan terjadi.
Tugas kita adalah berusaha dan istiqomah.
Kita juga
jangan hanya melihat dari upaya yang kita lakukan saja. Namun bayangkan jika
banyak manusia yang memiliki visi berorientasi sosial lalu bergerak dalam irama
yang harmonis membangun jaring-jaring pembangunan sosial. Dari visi sosial
tersebut akan lahir orang-orang yang membangun perpustakan, memberikan
bimbingan belajar gratis, membangun sekolah untuk anak miskin, mengembangkan
bakat seni anak-anak, memberikan pelatihan bagi ibu-ibu kurang mampu, memberikan
pinjaman usaha tanpa bunga, dan banyak lagi kegiatan sosial lainnya. Kita akan lihat ada orang-orang yang bekerja
untuk masyarakat di gang-gang sempit, di pelosok desa, di seluruh negeri ini
dan bahkan dunia.
Bagi individu
sendiri, ia akan terlatih melampaui batas-batas dirinya. Ia akan disibukkan
oleh aktifitas-aktifitas yang baik. Fokusnya teralihkan yang biasanya hanya
memikirkan dirinya, perasaannya saja kemudian memikirkan orang lain dan
berusaha untuk orang lain. Saya pikir ini akan menurunkan angka generasi galau.
Mungkin ada baiknya jika mereka galau apabila tidak bisa melakukan hal yang
bermanfaat untuk masyarakat serta menjadi alay dalam melakukan aktifitas
sosial. Kalau yang demikian, tentu akan menjadi lebih maslahat dan membawa efek
yang baik. Sekarangpun geliat pembangunan dengan visi sosial agaknya juga
sedang marak. Bermunculan jargon dan model-model bisnis sosial, socialentrepreneurship,
social talent, komunitas dan gerakan sosial. Hal ini merupakan iklim yang
kondusif untuk mengembangkan visi sosial dan merealisasikannya. Tentu saja
dengan harapan ini bukan hanya jargon semata, atau baju. Katanya sosial tetapi
ternyata hanya untuk keuntungan sebagian orang semata. Tetapi jangan skeptis
dulu, mari kita berprasangka baik saja agar semangat generasi dengan visi sosial
ini terus tumbuh. Soal niat dan hasilnya nanti, urusan manusia dengan TuhanNya.
0 comments:
Post a Comment