Saya dulu sering merasa minder
saat melihat apa yang saya hasilkan tidak sebesar kawan-kawan saya. Saya
melihat ada teman-teman yang bisa menjadi pengusaha sukses, mendapat jabatan
tinggi di perusahaan dan organisasinya dengan segudang prestasi dan catatan
keberhasilan yang fantastis. Dari hasil usaha tersebut mereka bisa
membahagiakan keluarganya, membantu banyak orang dengan harta dan kinerjanya.
Mereka tidak saja dikenal dan berbuat untuk orang-orang di sekitarnya, tetapi
nasional dan dunia. Orang-orang seperti itu tentu akan mendapat ganjaran yang
besar dunia dan akherat. Merekalah orang-orang sukses menurut pandangan saya
saat itu. Lalu saya melihat diri saya, “Ah, apalah saya yang hanya biasa-biasa
ini”. Kadang saya masih harus setengah mati hanya untuk bisa survive hidup dan
belum bisa berbuat banyak untuk masyarakat dan negara.
Saya adalah orang yang sangat
menyukai perjalanan. Meski bukan seorang traveller kelas kakap dan hanya
memiliki sedikit list kota yang pernah saya kunjungi, namun ke manapun saya
berjalan selalu berusaha mengamati sekeliling saya. Setiap saya pergi ke mana
saja, saya selalu menjumpai orang-orang yang berjuang keras untuk bisa bertahan
hidup. Petani kecil, pedagang kecil dan asongan, seniman jalanan, tukang becak,
dan banyak profesi lain sejenisnya yang jauh dari prestasi besar, harta berlimpah
dan popularitas. Mereka adalah orang-orang yang tidak dianggap sukses oleh masyarakat
pada umumnya bahkan kadang tidak dihargai.
Suatu ketika ada ada teman di Fb
yang menshare sebuah foto nenek tua dengan baju kumuh dan sangat kusut
memasukkan lembaran uang kecil dan beberapa receh ke kotak amal di sebuah toko.
Saya juga pernah menonton acara Kick Andy yang mengangkat kisah seorang supir bus di Bima yang mendirikan sebuah
Madrasah. Orang tua yang menyekolahkan anaknya di sana dibebaskan untuk
membayar semampunya, jika tidak mampu ya tidak perlu membayar. Sangat sederhana
dan penuh keterbatasan, tetapi sungguh bermakna. Ada juga kisah tentang seorang
tukang becak di Surabaya yang hampir setiap malam menutup lubang di jalan demi
keselamatan pengguna jalan. Saya sendiri pernah mengunjungi sebuah sekolah non
formal gratis di daerah Bantar Gebang yang dibuat untuk anak-anak pemulung.
Saat itu saya bertemu dengan pendirinya, Pak Nadam. Sosok sederhana yang rela
mendedikasikan hidup untuk pendidikan anak pemulung di area pembuangan sampah
Bantar Gebang. Dan masih banyak lagi kisah-kisah serupa, tentang kebaikan dan
upaya yang dilakukan oleh orang-orang sangat biasa yang bahkan belum bisa
dilakukan oleh orang-orang dengan pendidikan dan pangkat yang tinggi serta
harta yang banyak sekalipun.
Saya jadi berpikir alangkah luar
biasanya perbuatan orang-orang tadi. Bahkan saya sangat trenyuh mendengar kisah
seorang ibu di daerah kampung sumur, Duren sawit Jakarta yang membesarkan 4
orang anaknya. Ibu itu bekerja sangat keras agar anak-anaknya bisa sekolah dan
menyempatkan untuk memberikan nilai moral agar anak-anaknya tidak menjadi anak
nakal. Meskipun Ia hanya berpendidikan rendah dan berpenghasilan pas-pasan. Bukankah
sangat hebat perjuangannya? Apakah perjuangannya tidak kalah hebat dengan
orang-orang berilmu, berpendidikan dan berpangkat itu? sedangkan kondisi dan
sumberdayanya sangat terbatas sekali.
Saya pun menjadi bertanya
kembali, “Seperti apa sejatinya orang-orang yang mulia itu? Apa yang dilihat
oleh Allah dalam perjuangan seorang hamba? Apakah proses ataukah hasil?”. Saya
pernah membaca sebuah kutipan dari ceramah Cak Nun, “Nilai Perjuangan di mata
Allah dan hakikat kebenaran tidak ditentukan oleh berhasil tidaknya suatu
perjuangan. Melainkan ditentukan oleh kesetiaan daya juang sampai batas yang
seharusnya dilakukan”.
Dari situ saya berusaha memahami,
bahwa Allah lebih melihat proses. Manusia harus berproses sesuai dengan
dayanya, sampai batas maksimal yang dimilikinya. Tak peduli ia kaya atau
miskin, berprestasi atau tidak, berpangkat atau tidak. Sejauh ia melakukan
berbagai upaya dengan segala kemampuannya, itulah perjuangan yang dinilai oleh
Allah. Ia tak boleh lesu dan menyerah, entah bagaimanapun hasilnya.
Jika belajar dari kisah besar
perjuangan para Nabi, Seandainya pahala seseorang ditentukan oleh hasil dari
usahanya, maka tentu hanya sedikit saja nabi yang dimuliakan oleh Allah.
Satu-satunya Nabi yang sukses secara hasil, saya kira adalah Nabi Muhammad. Nabi
Muhammad merupakan nabi yang sukses menyebarkan tauhid dan agama yang diikuti
oleh mayoritas penduduk dunia dan bertahan hingga seribu tahun lebih. Coba Kita
tengok bagaimana kisah perjuangan nabi Nuh yang menurut riwayat hanya mendapat
tiga belas pengikut. Bahkan istri dan anaknya tidak mau mendengarkan dakwahnya.
Namun Allah memujinya dalam sebuah ayat, “Kesejahteraan
dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam. Sesungguhnya demikianlah kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ash-Shaffat: 79-81).
Kita juga tahu bagaimana kisah
perjuangan nabi Ayub yang penuh dengan ujian. Dalam hidupnya beliau banyak
ditimpa musibah. Beliau ditimpa penyakit, kemiskinan, dikucilkan bahkan
istrinya juga meninggalkannya. Nabi Ayub mendapatkan ujian keimanan dan
kesabaran yang bertubi-tubi selama bertahun-tahun. Dalam kondisi seperti itu
perjuangan Nabi Ayub untuk sabar, tetap bersyukur dan beriman pada Allah adalah
perjuangan yang luar biasa. Alla pun memujinya dalam sebuah ayat, "Sesungguhnya
Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaih-baik hamba.
Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." (QS. Shad: 44)
Masih banyak lagi kisah
perjuangan Nabi yang berakhir dengan sedikit umat yang mau mengikuti
petunjuknya. Tidak sedikit pula yang berakhir dengan dikhianati dan dibunuh
oleh kaumnya. Namun, mereka tetap merupakan Nabi yang dimuliakan dan dijamin
surga oleh Allah. Sehingga menurut pemahaman saya kini, setiap orang di dunia
ini terlahir dengan kondisinya masing-masing dan tumbuh pada lingkungannya
masing-masing. Dari situ setiap orang memiliki kemampuan dan batas
masing-masing, amanah maupun ujian tiap manusia juga berbeda-beda. Maka tidak
bisa hasilnya sama antara satu sama lain. Seorang yang memiliki ilmu, harta dan
akses yang besar, tentu memiliki tanggungjawab besar pula untuk berbuat yang
lebih besar terhadap masyarakat. Ujiannya biasanya adalah kesombongan baik
kepada sesama manusia maupun kepada Allah. Sedangkan orang dengan ilmu, harta
dan akses yang sedikit, bahkan mungkin masalah yang begitu banyak juga memiliki
amanah dan ujiannya sendiri. Mempertahankan iman dan rasa syukur di tengah
situasi sulit dan masalah hidup yang menghimpit juga adalah perjuangan yang
luar biasa. Itulah yang menurut saya, makna Allah melihat manusia dari keimanan
dan ketaqwaannya.
Subhanallah..sungguh Allah maha
besar dan adil. Tentu hal ini jangan sampai membuat kita justru
bermalas-malasan dan merasa menjadi orang yang terbatas sehingga tidak berbuat
banyak. Kita harus berhati-hati, jangan-jangan kita belum maksimal dalam
mengeluarkan kemampuan kita. Teruslah berjuang hingga batas terakhir daya kita.
0 comments:
Post a Comment