Social Icons

Pages

Saturday, April 9, 2016

Menjaga Diri dari Kesombongan




“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (Karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. “ QS. Luqman 18.
Kesombongan merupakan salah satu penyakit hati yang tidak dibenarkan dalam moral universal. Meskipun dalam kenyataannya banyak sekali kita jumpai manusia yang bersikap sombong, namun saya kira secara universal manusia tidak membenarkan kesombongan, bahkan pada manusia yang tidak sadar bahwa dirinya melakukan kesombongan.
Di dalam Al Qur’an, Allah juga seringkali mengingatkan agar manusia tidak bersikap sombong, baik sombong di hadapan Tuhannya maupun di hadapan sesama manusia. Manusia yang memang memiliki berbagai kelebihan dibanding makhluk Allah yang lain, memiliki akal yang bisa membuat sesuatu yang luar biasa, namun juga memiliki hawa nafsu menjadikannya sangat rentan terhadap sifat sombong. Oleh karena itu, Allah berkali-kali mengingatkan manusia untuk menjauhi sifat sombong, karena kesombongan memiliki dampak yang cukup fatal bagi manusia. Ketika seseorang mulai sombong, maka ia mulai bangga dengan dirinya sendiri, merasa lebih, ia mulai tidak mau mendengar, mulai memaksakan pendapatnya, merasa dirinya yang paling benar kemudian meremehkan orang lain. Jika hal tersebut berlangsung terus menerus, maka lama kelamaan ia akan berlaku dzalim.
Kita mungkin membayangkan orang-orang sombong adalah mereka yang mengumbar omongan muluk-muluk (baca: berlebihan) tentang dirinya. Kita membayangkan sosok manusia yang memiliki kekayaan, berpendidikan tinggi, atau apapun yang kemudian ia bangga-banggakan dan dipamerkan. Ia juga merendahkan orang lain dengan menghina. Namun, tidak semua kesombongan nampak begitu terang-terangan. Kesombongan dapat berwujud tutur kata yang halus dari seorang tokoh yang dianggap paling bijaksana sekalipun. Kesombongan dapat muncul dari nasehat-nasehat yang menggugah. Kesombongan itu bisa bermula dari kepuasan telah berbuat baik atau berada di pihak yang benar. Ia merasa lebih baik dari orang lain, lalu merasa berada di atas orang lain.
Di situ kesombongan dapat sangat halus menjalar dalam diri seseorang yang kemudian mengakar dan menguasai pikiran serta hati manusia. Saat kesombongan sudah sedemikian menguasai, maka akan lahir ketidakadilan di sana. Satu peristiwa akan diikuti oleh rentetan peristiwa lain yang dalam jangka pendek ataupun jangka panjang akan membawa dampak buruk bagi manusia lain.
                Manusia lebih mudah tergelincir pada kesombongan daripada menjaga diri dari kesombongan. Ujian kesombongan masuk dengan sangat halus, dilakukan oleh manusia bahkan tanpa sadar. Kesombongan seseorang bisa hadir bahkan saat seseorang itu berpemahaman bahwa prinsip obyektifitas harus dijunjung, siapapun yang berbicara kalau benar maka harus diakui. Pada kenyataannya tidak sedikit dijumpai bahwa dalam melihat suatu kebenaran, seseorang lebih melihat siapa subyek yang berbicara. Siapa subyek tersebut bisa mengacu pada jabatan, legitimasi, senioritas, dsb.
                Lalu bagaimana agar seseorang tidak menjadi sombong? Menurut saya ada 2 hal utama yang harus diperhatikan oleh manusia, yaitu sadar bahwa di atas langit masih ada langit dan senantiasa memperlakukan setiap manusia sebagai manusia.
Di atas langit masih ada langit berarti bahwa seorang manusia yang telah belajar seberapun banyaknya dan sepandai apapun ia merasa, namun masih ada orang lain yang juga memiliki ilmu yang tinggi. Paling tidak, ia harus sadar bahwa ia bukan orang yang menguasai segala bidang ilmu di dunia ini. Meskipun ia menjadi seorang master di bidangnya atau dua bidang sekaligus, namun bukan seluruh bidang. Dalam bidang yang lain, di belahan dunia yang lain tentu ada master-master yang lebih luar biasa. Itu berarti, dia tidak boleh merasa bahwa dirinya adalah ‘Yang Paling’ sehingga membuatnya berhenti belajar dan berhenti dalam satu titik kesimpulan.
Saya juga belajar tentang menjaga diri dari kesombongan melalui nasehat yang saya cuplik dari sebuah buku yang mengisahkan pemikiran dan perjuangan seorang Kyai[i]. Berikut ini kutipan nasehat tersebut: 
“Awal manusia mendapat ilmu dari pendengaran. Tetapi kamu jangan sombong, sebab belum tentu bisa menganalisis. Sudah mampu menganalisis jangan sombong kamu, sebab belum mampu mengerti. Sudah mengerti, jangan sombong sebab belum tentu kamu benar. Sudah benar jangan sombong kamu, sebab belum tentu adil. Sudah adil jangan sombong kamu, sebab belum tentu bijaksana. Sudah bijaksana jangan sombong kamu, sebab belum tentu waspada. Sudah waspada jangan sombong, sebab belum tentu masuk surga. Sudah masuk surga jangan sombong, sebab belum tentu bertemu dengan pemilik surga.”
Di dalam Al Qur’an juga terdapat sebuah ayat yang dapat kita jadikan pengingat agar kita tidak terjerumus dalam kesombongan:
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. QS. Al Israa’ 37
                Yang kedua adalah senantiasa memperlakukan setiap manusia sebagai manusia. Seseorang yang dalam pemahamannya merasa dirinya lebih dari orang lain, ia merasa menjadi manusia yang (selalu) benar dan berada di jalur yang (selalu) benar. Hal tersebut tidak jarang membawa pada pemahaman bahwa dia merupakan orang yang lebih unggul dari yang lain, manusia terpilih dan diberi kelebihan dibandingkan dengan manusia yang lain. Orang yang berjasa dalam suatu hal terkadang kemudia merasa menjadi orang yang paling berjasa. Meskipun memang ia memiliki jasa yang besar terhadap suatu kemajuan, namun bukan berarti ia adalah satu-satunya orang yang paling berjasa. Kalkulasi secara kuantitatif dan kualitatif mengenai amal atau jasa seorang manusia hanyalah Allah yang memiliki catatan validnya. Sebab Allah tidak hanya menghitung dari yang nampak, Allah menghitung dari setiap kata, gerak bahkan isi di dalam hati dan pikiran dalam sadar maupun bawah sadar. Sedangkan manusia memiliki kemampuan terbatas dan relative karena dipengaruhi oleh persepsi. Manusia lebih dominan menggunakan indera untuk menangkap yang nampak. Sedangkan dalam menilai yang tidak nampak, ia menggunakan analisa. Sedangkan analisa itu sedikit banyak dipengaruhi persepsi yang terbangun atas asumsi-asumsi atau pengalaman masa lalunya.
                Dari pemahaman akan siapa itu manusia, tentu ini harus dijadikan landasan dalam bersikap dan bertindak. Menempatkan secara tepat kemanusiaan dalam memperlakukan orang lain maupun dirinya sendiri. Artinya bahwa ketika memperlakukan orang lain, berarti dia harus bisa berempati kepada orang lain. Bahwa manusia tentu memiliki kekurangan, namun juga kelebihan. Bahwa manusia memiliki kesalahan tetapi juga kebenaran. Bahwa manusia memiliki kegagalan, namun juga kesuksesan. Bahwa manusia memiliki kebohongan, tetapi juga kejujuran. Dengan begitu, akan dapat menimbang seberapa salah dan benar, serta memperlakukan masih dalam batas-batas kewajaran atas perasaan dan pikiran seorang manusia.
                Dalam memanusiakan dirinya sendiri, maka seorang manusia akan menempatkan dirinya sebagai manusia biasa. Yaitu manusia yang memiliki kelebihan, namun juga kekurangan. Seseorang yang memiliki kebenaran, namun juga kesalahan. Manusia yang memiliki kesuksesan, namun juga kegagalan. Memang kata-kata ini tidak ada bedanya dengan kata-kata yang saya sebutkan di atas, tetapi akan membentuk persepsi yang berbeda. Dalam melihat manusia lain, seseorang cenderung mendahulukan keburukan daripada kebaikannya, kesalahan daripada kebenarannya. Sedangkan dalam memandang dirinya sendiri, seseorang akan cenderung mendahulukan kebenarannya daripada kesalahannya, kebaikan daripada keburukannya.
                Jika bijaksana, seorang manusia haruslah memegang prinsip kemanusiaan tersebut agar ia tidak mudah terbawa persepsi dan kecenderungan tertentu dalam memperlakukan manusia. Sekali manusia terjerumus dalam kesombongan, akan sulit sekali terselamatkan jika tidak ada suatu bencana besar yang menimpanya. Di Al Qur’an sendiri telah banyak pelajaran tentang bagaimana Allah menimpakan bencana pada suatu kaum yang sombong. Islam pun mengajarkan penganutnya untuk menjauhi sifat sombong. Apalagi di hadapan Allah, ia haruslah tunduk mutlak dan berserah. Allah di sini tidak hanya zatNya semata namun juga ciptaanNya baik yang berupa sunnatullah maupun makhluk ciptaanNya.


[i] Pesantren agribisnis

0 comments:

Post a Comment

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates