“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari
manusia (Karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri. “ QS. Luqman 18.
Kesombongan merupakan
salah satu penyakit hati yang tidak dibenarkan dalam moral universal. Meskipun
dalam kenyataannya banyak sekali kita jumpai manusia yang bersikap sombong,
namun saya kira secara universal manusia tidak membenarkan kesombongan, bahkan pada
manusia yang tidak sadar bahwa dirinya melakukan kesombongan.
Di dalam Al
Qur’an, Allah juga seringkali mengingatkan agar manusia tidak bersikap sombong,
baik sombong di hadapan Tuhannya maupun di hadapan sesama manusia. Manusia yang
memang memiliki berbagai kelebihan dibanding makhluk Allah yang lain, memiliki
akal yang bisa membuat sesuatu yang luar biasa, namun juga memiliki hawa nafsu
menjadikannya sangat rentan terhadap sifat sombong. Oleh karena itu, Allah
berkali-kali mengingatkan manusia untuk menjauhi sifat sombong, karena
kesombongan memiliki dampak yang cukup fatal bagi manusia. Ketika seseorang
mulai sombong, maka ia mulai bangga dengan dirinya sendiri, merasa lebih, ia
mulai tidak mau mendengar, mulai memaksakan pendapatnya, merasa dirinya yang
paling benar kemudian meremehkan orang lain. Jika hal tersebut berlangsung
terus menerus, maka lama kelamaan ia akan berlaku dzalim.
Kita mungkin
membayangkan orang-orang sombong adalah mereka yang mengumbar omongan muluk-muluk (baca: berlebihan) tentang
dirinya. Kita membayangkan sosok manusia yang memiliki kekayaan, berpendidikan
tinggi, atau apapun yang kemudian ia bangga-banggakan dan dipamerkan. Ia juga
merendahkan orang lain dengan menghina. Namun, tidak semua kesombongan nampak
begitu terang-terangan. Kesombongan dapat berwujud tutur kata yang halus dari
seorang tokoh yang dianggap paling bijaksana sekalipun. Kesombongan dapat
muncul dari nasehat-nasehat yang menggugah. Kesombongan itu bisa bermula dari
kepuasan telah berbuat baik atau berada di pihak yang benar. Ia merasa lebih
baik dari orang lain, lalu merasa berada di atas orang lain.
Di situ
kesombongan dapat sangat halus menjalar dalam diri seseorang yang kemudian
mengakar dan menguasai pikiran serta hati manusia. Saat kesombongan sudah
sedemikian menguasai, maka akan lahir ketidakadilan di sana. Satu peristiwa
akan diikuti oleh rentetan peristiwa lain yang dalam jangka pendek ataupun
jangka panjang akan membawa dampak buruk bagi manusia lain.
Manusia
lebih mudah tergelincir pada kesombongan daripada menjaga diri dari
kesombongan. Ujian kesombongan masuk dengan sangat halus, dilakukan oleh
manusia bahkan tanpa sadar. Kesombongan seseorang bisa hadir bahkan saat
seseorang itu berpemahaman bahwa prinsip obyektifitas harus dijunjung, siapapun
yang berbicara kalau benar maka harus diakui. Pada kenyataannya tidak sedikit
dijumpai bahwa dalam melihat suatu kebenaran, seseorang lebih melihat siapa
subyek yang berbicara. Siapa subyek tersebut bisa mengacu pada jabatan,
legitimasi, senioritas, dsb.
Lalu
bagaimana agar seseorang tidak menjadi sombong? Menurut saya ada 2 hal utama
yang harus diperhatikan oleh manusia, yaitu sadar bahwa di atas langit masih
ada langit dan senantiasa memperlakukan setiap manusia sebagai manusia.
Di atas langit
masih ada langit berarti bahwa seorang manusia yang telah belajar seberapun
banyaknya dan sepandai apapun ia merasa, namun masih ada orang lain yang juga
memiliki ilmu yang tinggi. Paling tidak, ia harus sadar bahwa ia bukan orang
yang menguasai segala bidang ilmu di dunia ini. Meskipun ia menjadi seorang
master di bidangnya atau dua bidang sekaligus, namun bukan seluruh bidang.
Dalam bidang yang lain, di belahan dunia yang lain tentu ada master-master yang
lebih luar biasa. Itu berarti, dia tidak boleh merasa bahwa dirinya adalah
‘Yang Paling’ sehingga membuatnya berhenti belajar dan berhenti dalam satu
titik kesimpulan.
Saya juga
belajar tentang menjaga diri dari kesombongan melalui nasehat yang saya cuplik
dari sebuah buku yang mengisahkan pemikiran dan perjuangan seorang Kyai[i].
Berikut ini kutipan nasehat tersebut:
“Awal manusia mendapat ilmu dari
pendengaran. Tetapi kamu jangan sombong, sebab belum tentu bisa menganalisis.
Sudah mampu menganalisis jangan sombong kamu, sebab belum mampu mengerti. Sudah
mengerti, jangan sombong sebab belum tentu kamu benar. Sudah benar jangan
sombong kamu, sebab belum tentu adil. Sudah adil jangan sombong kamu, sebab
belum tentu bijaksana. Sudah bijaksana jangan sombong kamu, sebab belum tentu
waspada. Sudah waspada jangan sombong, sebab belum tentu masuk surga. Sudah
masuk surga jangan sombong, sebab belum tentu bertemu dengan pemilik surga.”
Di dalam Al Qur’an juga terdapat
sebuah ayat yang dapat kita jadikan pengingat agar kita tidak terjerumus dalam
kesombongan:
Dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat
menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. QS. Al
Israa’ 37
Yang
kedua adalah senantiasa memperlakukan setiap manusia sebagai manusia. Seseorang
yang dalam pemahamannya merasa dirinya lebih dari orang lain, ia merasa menjadi
manusia yang (selalu) benar dan berada di jalur yang (selalu) benar. Hal
tersebut tidak jarang membawa pada pemahaman bahwa dia merupakan orang yang
lebih unggul dari yang lain, manusia terpilih dan diberi kelebihan dibandingkan
dengan manusia yang lain. Orang yang berjasa dalam suatu hal terkadang kemudia
merasa menjadi orang yang paling berjasa. Meskipun memang ia memiliki jasa yang
besar terhadap suatu kemajuan, namun bukan berarti ia adalah satu-satunya orang
yang paling berjasa. Kalkulasi secara kuantitatif dan kualitatif mengenai amal
atau jasa seorang manusia hanyalah Allah yang memiliki catatan validnya. Sebab
Allah tidak hanya menghitung dari yang nampak, Allah menghitung dari setiap
kata, gerak bahkan isi di dalam hati dan pikiran dalam sadar maupun bawah
sadar. Sedangkan manusia memiliki kemampuan terbatas dan relative karena
dipengaruhi oleh persepsi. Manusia lebih dominan menggunakan indera untuk menangkap
yang nampak. Sedangkan dalam menilai yang tidak nampak, ia menggunakan analisa.
Sedangkan analisa itu sedikit banyak dipengaruhi persepsi yang terbangun atas
asumsi-asumsi atau pengalaman masa lalunya.
Dari
pemahaman akan siapa itu manusia, tentu ini harus dijadikan landasan dalam
bersikap dan bertindak. Menempatkan secara tepat kemanusiaan dalam
memperlakukan orang lain maupun dirinya sendiri. Artinya bahwa ketika
memperlakukan orang lain, berarti dia harus bisa berempati kepada orang lain. Bahwa
manusia tentu memiliki kekurangan, namun juga kelebihan. Bahwa manusia memiliki
kesalahan tetapi juga kebenaran. Bahwa manusia memiliki kegagalan, namun juga
kesuksesan. Bahwa manusia memiliki kebohongan, tetapi juga kejujuran. Dengan
begitu, akan dapat menimbang seberapa salah dan benar, serta memperlakukan
masih dalam batas-batas kewajaran atas perasaan dan pikiran seorang manusia.
Dalam
memanusiakan dirinya sendiri, maka seorang manusia akan menempatkan dirinya
sebagai manusia biasa. Yaitu manusia yang memiliki kelebihan, namun juga
kekurangan. Seseorang yang memiliki kebenaran, namun juga kesalahan. Manusia
yang memiliki kesuksesan, namun juga kegagalan. Memang kata-kata ini tidak ada
bedanya dengan kata-kata yang saya sebutkan di atas, tetapi akan membentuk
persepsi yang berbeda. Dalam melihat manusia lain, seseorang cenderung
mendahulukan keburukan daripada kebaikannya, kesalahan daripada kebenarannya.
Sedangkan dalam memandang dirinya sendiri, seseorang akan cenderung
mendahulukan kebenarannya daripada kesalahannya, kebaikan daripada
keburukannya.
Jika
bijaksana, seorang manusia haruslah memegang prinsip kemanusiaan tersebut agar
ia tidak mudah terbawa persepsi dan kecenderungan tertentu dalam memperlakukan manusia.
Sekali manusia terjerumus dalam kesombongan, akan sulit sekali terselamatkan
jika tidak ada suatu bencana besar yang menimpanya. Di Al Qur’an sendiri telah
banyak pelajaran tentang bagaimana Allah menimpakan bencana pada suatu kaum
yang sombong. Islam pun mengajarkan penganutnya untuk menjauhi sifat sombong.
Apalagi di hadapan Allah, ia haruslah tunduk mutlak dan berserah. Allah di sini
tidak hanya zatNya semata namun juga ciptaanNya baik yang berupa sunnatullah
maupun makhluk ciptaanNya.
0 comments:
Post a Comment