Musibah adalah
suatu keniscayaan yang terjadi dalam hidup manusia. Besar maupun kecil, ketika
manusia mengalami suatu masalah yang membuatnya sedih dan menderita, itu
merupakan bagian dari musibah. Tidak satupun manusia di dunia ini yang
sepanjang hidupnya tidak pernah mengalami suatu musibah. Saya tidak pernah
melakukan riset secara kuantitatif tentang hal ini, tetapi berkaca dari
pengalaman pribadi dan sepanjang hidup saya bertemu dengan banyak orang, selalu
ada saja kejadian buruk yang pernah mereka alami. Dari situ saya berpikir bahwa
musibah, kesedihan, kegagalan atau apapun yang dapat disandingkan tentang itu
merupakan suatu hukum alam yang ada bersamaan dengan adanya manusia dan
kehidupan itu sendiri.
Allah tidak
hanya menciptakan kehidupan ini dengan makhluk-makhlukNya saja, namun juga
beserta dengan sifat dan sunnatullahNya. Manusia yang terdiri dari unsur jiwa
dan raga, meliputi organ dan sifat-sifatnya membuat manusia akan bersikap dan
melakukan berbagai tindakan yang membawa konsekwensi tertentu. Konsekwensi
tersebut akan terhubung dengan makhluk atau manusia lain yang kemudian membawa
akibat lain. Dari akibat yang muncul, bisa berupa kebaikan atau keburukan,
kebahagiaan ataupun kesedihan. Seberapapun seorang manusia berusaha menghindar
dan berhati-hati agar tidak terjadi hal yang buruk menimpanya, namun ia tidak
dapat sepenuhnya mengendalikan semua faktor dan terhindar dari suatu musibah.
Sebagaimana sebuah ayat yang saya kutip di bawah ini:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” Al Anbiyaa’ 35
Sebagaimana firman Allah di atas, maka sudah menjadi keniscayaan bahwa Allah akan menguji
manusia. Namun tidak selalu berarti bahwa Allah secara zat langsung bertindak
memberikan ujian kepada setiap manusia. Tetapi ujian itu sudah merupakan satu
rangkaian kehidupan yang telah Allah diciptakan dalam hukum-hukumNya.
Tetapi kenapa harus ada ujian yang berupa musibah? Bukankah itu
membuat manusia menjadi menderita? Dulu saat saya mendapat suatu masalah yang
cukup berat, saya sering berpikir mengapa saya bisa mengalami hal tersebut?
mengapa harus saya? Apa salah saya? Sebegitu berdosakah saya? Atau bahkan
kadang muncul prasangka bahwa Allah mungkin marah kepada saya. Tetapi saya
mulai merubah pandangan saya.
Saya berpikir bahwa saat manusia berada dalam suatu kesenagan, mereka
cenderung menjadi lupa diri. Sebagaimana firman Allah: “Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila
Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: "Sesungguhnya aku
diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku." Az Zumar 49. Manusia cenderung
mulai mengingat Allah saat ia tertimpa musibah. Ada manusia yang bila diberi
sedikit musibah, ia kemudian bisa cepat berevaluasi dan memohon ampun pada
Allah, namun ada yang hanya ketika mendapat musibah besar, barulah ia bisa
mengingat Allah.
Dalam situasi yang menyenangkan, berkecukupan, nyaman, berhasil akan
mudah sekali tumbuh benih-benih kesombongan di dalam diri manusia. Ia akan
merasa begitu hebat, merasa bahwa apa yang dicapainya adalah karena usahanya,
kerja kerasnya, kepandaiannya. Kesenangan itu tidak dianggap sebagai suatu
anugrah dari Allah. Jika situasi seperti itu berlangsung terus menerus, maka ia
akan menjadi orang yang kufur nikmat. Lebih jauh dari itu, ia akan merasa
menjadi orang yang merasa hebat di atas orang lain bahkan tidak lagi menganggap
kemahabesaran Allah.
Bagaimana kemudian kehidupan manusia seperti itu selanjutnya? Ia bisa
menjadi manusia yang tamak, tidak pernah puas, selalu ingin menjadi sosok
hebat. Dalam mencapai keinginannya, ia tidak segan untuk melakukan usaha
berbagai cara baik yang halal maupun haram, yang etis maupun tidak. Hawa
nafsunya akan mendorongnya lebih besar dari hati nuraninya. Jika sudah seperti
itu, akal pikirannya tidak lagi bekerja dengan baik. Ia akan melanggar aturan,
hukum kemanusiaan dan lebih jauh lagi hukum Allah. Di titik tertentu, saat
masalah-masalahnya sudah menggunung es, maka hancurlah ia pada titik tertentu.
Beruntung apabila itu terjadi di dunia, ia bisa tersadar dan bertaubat. Tetapi
bagaimana jika tidak ada kesempatan untuknya bertaubat di dunia, maka ia akan menerima
azabnya di akherat. Naudzubillah…
Maka Allah menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang teramat
berat. Apabila manusia telah mulai lupa dan berpaling dari Allah, ada
kerikil-kerikil kecil yang bisa menyadarkannya bahwa ia tidak selamanya bisa menyelesaikan
semua. Ia butuh sesuatu di luar dirinya untuk membantunya. Saat kerikil kecil
itu belum mampu menyadarkannya, maka muncul ujian yang lebih besar lagi agar ia
bisa tertampar lebih keras dan tersadar. Suatu kejadian yang bisa membuatnya
tertunduk, bersujud pada Allah dan meminta pertolongan. Di titik itulah ia
dapat menyadari betapa rapuhnya, betapa tidak berdayanya manusia di hadapan
Tuhannya. Dari situ lantas ia mulai evaluasi diri, mempertanyakan apa yang
salah dari perilakunya selama ini, baik terhadap sesama manusia, makhluk Allah
atau bahkan Allah sendiri. Ia kemudian menjadi manusia yang waspada, belajar
dan berusaha untuk tidak tergelincir pada masalah yang sama.
Kita tentu pernah mendengar bagaimana kisah orang-orang yang bangkit
setelah tertimpa suatu musibah. Tidak sedikit dari mereka yang justru menjadi
semakin tangguh dan pada akhirnya meraih kesuksesan yang lebih baik lagi. Salah
satu ayat yang juga dapat kita ambil pelajaran dalam hal ini adalah, “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka,
maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang
serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara
manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan
orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya
(gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” Pada
peristiwa perang Uhud ini, umat Islam pada saat itu dapat mengambil hikmah
bahwa kemenangannya di Badar tidak boleh membuat mereka sombong hingga
meremehka lawan. Ini akan menjadi pelajaran penting agar mereka taat pada Rasul
dan kuat dalam barisan. Ujian kekalahan ini juga bisa menunjukkan siapa yang
sesungguhnya beriman dan mana yang merupakan orang munafik sehingga umat Islam
bisa mengatur barisan yang lebih kuat lagi ke depannya. Kita dapat ketahui
hasil-hasil selanjutnya, umat Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad tidak
pernah kalah dalam peperangan.
Dari sini saya memandang bahwa suatu musibah adalah sebuah vaksin dan
juga obat untuk penyakit sombong. Manusia sangat mudah terkena kesombongan,
ketika ia lebih banyak mengalami kesuksesan atau kebahagiaan. Sebelum ia
benar-benar menjadi sombong, maka musibah datang untuk menjaganya agar tidak
sampai terserang virus kesombongan. Dalam hal ini, musibah merupakan sebuah
vaksin bagi manusia. Tetapi jika ternyata virus kesombongan menyerang
sedemikian kuat pada diri seseorang karena sedemikian dahsyatnya
pengondisiannya, maka musibah besar bisa saja hadir. Dari situ, musibah menjadi
obat mujarab untuk menyembuhkan.
Setiap manusia tentu lebih berharap mendapatkan vaksin saja daripada
harus sakit dulu dan menelan obat yang teramat pahit. Tetapi Semua itu tentu
bergantung dari bagaimana kita sendiri dalam menempa diri. Bagaimana kita
senantiasa menjaga diri dari hawa nafsu, kemungkaran dan jangan sampai
melupakan Allah sebagai Tuhan yang Maha pemurah dan satu-satunya penolong.
Maka, saatnya juga lebih bijak dalam memandang sebuah musibah. Bahwa
musibah terjadi bukan saja karena Allah marah dan tidak sayang pada kita. Justru di
situlah letak Maha Pengasih Allah, di mana Allah tidak begitu saja membiarkan
manusia terlena dan berada dalam kesesatan melainkan juga memberikan suatu
mekanisme yang justru menyelamatkan manusia dari bencana yang lebih besar. Tentu tidak mudah bersyukur saat kita tertimpa
musibah, namun tentu patut mulai kita coba. Sebagaimana firman Allah dalam
Surat Al Baqarah 216, “..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk
bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.”
0 comments:
Post a Comment