Social Icons

Pages

Monday, April 11, 2016

Musibah sebagai Vaksin dan Obat dari Kesombongan



Musibah adalah suatu keniscayaan yang terjadi dalam hidup manusia. Besar maupun kecil, ketika manusia mengalami suatu masalah yang membuatnya sedih dan menderita, itu merupakan bagian dari musibah. Tidak satupun manusia di dunia ini yang sepanjang hidupnya tidak pernah mengalami suatu musibah. Saya tidak pernah melakukan riset secara kuantitatif tentang hal ini, tetapi berkaca dari pengalaman pribadi dan sepanjang hidup saya bertemu dengan banyak orang, selalu ada saja kejadian buruk yang pernah mereka alami. Dari situ saya berpikir bahwa musibah, kesedihan, kegagalan atau apapun yang dapat disandingkan tentang itu merupakan suatu hukum alam yang ada bersamaan dengan adanya manusia dan kehidupan itu sendiri.
Allah tidak hanya menciptakan kehidupan ini dengan makhluk-makhlukNya saja, namun juga beserta dengan sifat dan sunnatullahNya. Manusia yang terdiri dari unsur jiwa dan raga, meliputi organ dan sifat-sifatnya membuat manusia akan bersikap dan melakukan berbagai tindakan yang membawa konsekwensi tertentu. Konsekwensi tersebut akan terhubung dengan makhluk atau manusia lain yang kemudian membawa akibat lain. Dari akibat yang muncul, bisa berupa kebaikan atau keburukan, kebahagiaan ataupun kesedihan. Seberapapun seorang manusia berusaha menghindar dan berhati-hati agar tidak terjadi hal yang buruk menimpanya, namun ia tidak dapat sepenuhnya mengendalikan semua faktor dan terhindar dari suatu musibah. Sebagaimana sebuah ayat yang saya kutip di bawah ini:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”  Al Anbiyaa’ 35
Sebagaimana firman Allah di atas, maka sudah  menjadi keniscayaan bahwa Allah akan menguji manusia. Namun tidak selalu berarti bahwa Allah secara zat langsung bertindak memberikan ujian kepada setiap manusia. Tetapi ujian itu sudah merupakan satu rangkaian kehidupan yang telah Allah diciptakan dalam hukum-hukumNya.
Tetapi kenapa harus ada ujian yang berupa musibah? Bukankah itu membuat manusia menjadi menderita? Dulu saat saya mendapat suatu masalah yang cukup berat, saya sering berpikir mengapa saya bisa mengalami hal tersebut? mengapa harus saya? Apa salah saya? Sebegitu berdosakah saya? Atau bahkan kadang muncul prasangka bahwa Allah mungkin marah kepada saya. Tetapi saya mulai merubah pandangan saya.
Saya berpikir bahwa saat manusia berada dalam suatu kesenagan, mereka cenderung menjadi lupa diri. Sebagaimana firman Allah: “Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: "Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku." Az Zumar 49. Manusia cenderung mulai mengingat Allah saat ia tertimpa musibah. Ada manusia yang bila diberi sedikit musibah, ia kemudian bisa cepat berevaluasi dan memohon ampun pada Allah, namun ada yang hanya ketika mendapat musibah besar, barulah ia bisa mengingat Allah.
Dalam situasi yang menyenangkan, berkecukupan, nyaman, berhasil akan mudah sekali tumbuh benih-benih kesombongan di dalam diri manusia. Ia akan merasa begitu hebat, merasa bahwa apa yang dicapainya adalah karena usahanya, kerja kerasnya, kepandaiannya. Kesenangan itu tidak dianggap sebagai suatu anugrah dari Allah. Jika situasi seperti itu berlangsung terus menerus, maka ia akan menjadi orang yang kufur nikmat. Lebih jauh dari itu, ia akan merasa menjadi orang yang merasa hebat di atas orang lain bahkan tidak lagi menganggap kemahabesaran Allah.
Bagaimana kemudian kehidupan manusia seperti itu selanjutnya? Ia bisa menjadi manusia yang tamak, tidak pernah puas, selalu ingin menjadi sosok hebat. Dalam mencapai keinginannya, ia tidak segan untuk melakukan usaha berbagai cara baik yang halal maupun haram, yang etis maupun tidak. Hawa nafsunya akan mendorongnya lebih besar dari hati nuraninya. Jika sudah seperti itu, akal pikirannya tidak lagi bekerja dengan baik. Ia akan melanggar aturan, hukum kemanusiaan dan lebih jauh lagi hukum Allah. Di titik tertentu, saat masalah-masalahnya sudah menggunung es, maka hancurlah ia pada titik tertentu. Beruntung apabila itu terjadi di dunia, ia bisa tersadar dan bertaubat. Tetapi bagaimana jika tidak ada kesempatan untuknya bertaubat di dunia, maka ia akan menerima azabnya di akherat. Naudzubillah…
Maka Allah menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang teramat berat. Apabila manusia telah mulai lupa dan berpaling dari Allah, ada kerikil-kerikil kecil yang bisa menyadarkannya bahwa ia tidak selamanya bisa menyelesaikan semua. Ia butuh sesuatu di luar dirinya untuk membantunya. Saat kerikil kecil itu belum mampu menyadarkannya, maka muncul ujian yang lebih besar lagi agar ia bisa tertampar lebih keras dan tersadar. Suatu kejadian yang bisa membuatnya tertunduk, bersujud pada Allah dan meminta pertolongan. Di titik itulah ia dapat menyadari betapa rapuhnya, betapa tidak berdayanya manusia di hadapan Tuhannya. Dari situ lantas ia mulai evaluasi diri, mempertanyakan apa yang salah dari perilakunya selama ini, baik terhadap sesama manusia, makhluk Allah atau bahkan Allah sendiri. Ia kemudian menjadi manusia yang waspada, belajar dan berusaha untuk tidak tergelincir pada masalah yang sama.
Kita tentu pernah mendengar bagaimana kisah orang-orang yang bangkit setelah tertimpa suatu musibah. Tidak sedikit dari mereka yang justru menjadi semakin tangguh dan pada akhirnya meraih kesuksesan yang lebih baik lagi. Salah satu ayat yang juga dapat kita ambil pelajaran dalam hal ini adalah, “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” Pada peristiwa perang Uhud ini, umat Islam pada saat itu dapat mengambil hikmah bahwa kemenangannya di Badar tidak boleh membuat mereka sombong hingga meremehka lawan. Ini akan menjadi pelajaran penting agar mereka taat pada Rasul dan kuat dalam barisan. Ujian kekalahan ini juga bisa menunjukkan siapa yang sesungguhnya beriman dan mana yang merupakan orang munafik sehingga umat Islam bisa mengatur barisan yang lebih kuat lagi ke depannya. Kita dapat ketahui hasil-hasil selanjutnya, umat Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad tidak pernah kalah dalam peperangan.
Dari sini saya memandang bahwa suatu musibah adalah sebuah vaksin dan juga obat untuk penyakit sombong. Manusia sangat mudah terkena kesombongan, ketika ia lebih banyak mengalami kesuksesan atau kebahagiaan. Sebelum ia benar-benar menjadi sombong, maka musibah datang untuk menjaganya agar tidak sampai terserang virus kesombongan. Dalam hal ini, musibah merupakan sebuah vaksin bagi manusia. Tetapi jika ternyata virus kesombongan menyerang sedemikian kuat pada diri seseorang karena sedemikian dahsyatnya pengondisiannya, maka musibah besar bisa saja hadir. Dari situ, musibah menjadi obat mujarab untuk menyembuhkan.
Setiap manusia tentu lebih berharap mendapatkan vaksin saja daripada harus sakit dulu dan menelan obat yang teramat pahit. Tetapi Semua itu tentu bergantung dari bagaimana kita sendiri dalam menempa diri. Bagaimana kita senantiasa menjaga diri dari hawa nafsu, kemungkaran dan jangan sampai melupakan Allah sebagai Tuhan yang Maha pemurah dan satu-satunya penolong.
Maka, saatnya juga lebih bijak dalam memandang sebuah musibah. Bahwa musibah terjadi bukan saja karena Allah marah dan tidak sayang pada kita. Justru di situlah letak Maha Pengasih Allah, di mana Allah tidak begitu saja membiarkan manusia terlena dan berada dalam kesesatan melainkan juga memberikan suatu mekanisme yang justru menyelamatkan manusia dari bencana yang lebih besar.  Tentu tidak mudah bersyukur saat kita tertimpa musibah, namun tentu patut mulai kita coba. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Baqarah 216, “..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.”

0 comments:

Post a Comment

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates